Kamis, 03 Juni 2010

Tanggapan Permohonan Uji Materril Perkara Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan “Tafsiran zat adiktif”

Tanggapan Permohonan Uji Materril
Perkara Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010
Tentang UU Kesehatan “Tafsiran zat adiktif”

Helza Nova Lita


Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon menyatakan Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam pembukaan (preambule), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28I, yang berarti melanggar hak asasi manusia

NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI

Sebanyak 3 (tiga) norma, yaitu :

Pasal 113 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI

Sebanyak 10 (sepuluh) norma, yaitu :

Pembukaan UUD 1945

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan in i kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada ketjualinya.

Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerdyaan dan penghidupan yang lajak bagi kemanusiaan.

Pasal 27 ayat (3)
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggun jawab negara, terutama pemerintah.

Pasal 28I ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pemohon mendalilkan Pasal 113 ayat (2) bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian, padahal masih banyak jenis tanaman pertanian lainnya yang juga mempunyai dampak tidak baik bagi kesehatan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga tidak ada satu ayat pun yang menyebut istilah zat adiktif, namun kemudian dimunculkan pasal khusus yaitu Pasal 113 ayat (2).

Dalam pertimbangan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.

Dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan menyebutkan Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.Selanjutnya dalam ayat (2) bahwa Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Dan pada ayat (3) menyebutkan Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

Ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan merupakan aturan dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dengan mengikutnsertakan peran masyarakat secara luas. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum UU Kesehatan bahwa pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.

Sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang didalilkan pemohon bersifat diskriminatif, dan bahwa upayanya pemakaian tembakau dilakukan dengan pengendalian bukan dengan pencegahan, justru telah diakomodir dalam Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan yang menyebutkan menyebutkan Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) dijelaskan bahwa Penetapan estándar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.Pemohon seharusnya membaca ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan tidak berdiri sendiri tapi juga terkait dengan pasal dan ayat lainya dalam UU kesehatan.

Ketentuan Pasal 113 UU kesehatan yang menyebutkan tembakan sebagai salah satu tanaman yang mengandung zat adiktif adalah dalam upaya agar penggendalian penggunaannya agar tidak menganggu kesehatan. Karena Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat sebagaimana yang diamantkan oleh UUD 1945. Hal ini tentunya bukan merupakan tindakan diskriminatif.

Penggunaan Tembakau yang mengandung zat adiktif tentunya tidak akan merugikan petani tembakau, jika penggunaannya dapat dikendalikan dan bukan semata-mata untuk industri rokok. Tembakau dapat dialihkan pada industri lainnya yang tidak menganggu kesehatan masyarakat.
Penggunaan tembakau akan bermanfaat sesuai dengan peruntukannya tanpa harus diarahkan pada industri rokok yang membahayakan kesehatan. Penggunaan tembakau dapat dialihkan pada fungsinya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam beberapa hasil penelitian Dr. Arief B. Witarto, M.Eng, peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru-baru ini berhasil menggunakan tembakau sebagai alat untuk memproduksi protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF) tersebut, suatu hormon yang sangat penting dalam menstimulasi produksi darah dan selain itu bisa juga untuk menstimulasi perbanyakan sel tunas (stem cell) yang bisa dikembangkan untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak (Republika, 24 Juli 2008). Sebelumnya peneliti LIPI ini yang bekerja sama dengan peneliti Fraunhofer Institute for Environmental Chemistry and Ecotoxicology dari Jerman juga menggunakan tembakau transgenik untuk memproduksi tiga protein utama yaitu human serum albumin (HSA) untuk pengobatan sirosis hati dan luka bakar, human interferon-alfa (IFN-a2) sebagai antivirus dan banyak dipakai untuk pengobatan HIV/AIDS dan hepatitis, serta antibodi M12 untuk mengenali antigen MUC-1 yang banyak terdapat pada permukaan sel kanker, seperti kanker payudara dan kanker hati sehingga sel kanker dapat didiagnosis lebih akurat dan dibunuh secara tepat (Tempo, 15 Maret 2005). Penelitian lain yang dilakukan oleh Beni Hermawan pada 28-04-2007 di Situs Kimia Indonesia chem-is-try.org menyebutkan bahwa ekstrak daun tembakau dapat dijadikan inhibitor (pencegah) terjadinya peristiwa korosi (pengkaratan atau perusakan atau penurunan kualitas suatu bahan logam) dalam medium larutan garam. Ekstrak daun tembakau juga efektif menurunkan laju korosi mild steel dalam medium air laut buatan yang jenuh CO2 .
Beberapa ringkasan penelitian tersebut meruntuhkan ke-salah kaprah-an yang selama ini terjadi bahwa manfaat tembakau ‘hanya’ lah untuk bahan baku pembuatan rokok sehingga terkesan tidak memiliki manfaat selain itu. Pengembangan penelitian-penelitian tersebut menjadi produksi massal akan membawa manfaat sangat besar. Kesediaan pemerintah untuk mewujudkan iklim yang kondusif dalam memperluas lapangan kerja di bidang industri pharmaceutical (obat-obatan) ini dapat menjadi alternatif solusi untuk para petani tembakau. Petani-petani yang sudah terlatih menanam tembakau dapat diberdayakan dalam ‘menggarap’ industri obat-obatan dan vaksin tersebut yang justru akan mendatangkan keuntungan lebih besar daripada pabrik rokok. Dan para tenaga kerja dari pabrik rokok dapat dialihkan ke industri ini pula .
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa tidak ada hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakukan Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tanggapan Permohonan Uji Materiil Perkara No 21/PUU-VIII/2010 UU No 8 Tahun 1981 dan UU No 7 Tahun 1974 ttg Penertiban Perjudian

Tanggapan Permohonan Uji Materiil
Perkara No 21/PUU-VIII/2010

Helza Nova Lita


Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

Norma-norma yang hendak diuji secara materiil sebanyak 14 (empat belas) norma, yaitu :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 303 ayat (1) :
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa tanpa mendapat izin : ke-1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu.
ke-2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan itu, dengan tidak peduli apakah sesuatu untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.
Ke-3. menjadikan turut serta pada permainan judi seperti pencarian”.

Pasal 303 ayat (2) :
Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu”.

Pasal 303 ayat (3) :
Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung kepada peruntungan belaka,juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Pasal 303 bis ayat (1)
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah :
1. barangsiapa menggunakan kesempatan main judi,yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303.
2. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau dipinggir jalan umum atau ditempat yang dapat dikunjungi umum,kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

Pasal 303 bis ayat (2)
Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.
b. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian

Pasal 1
menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Pasal 2 ayat (1)
“merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dari hukuman penjara selama-lamnya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah”.

Pasal 2 ayat (2).
“Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah”.

Pasal 2 ayat (3).
“Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu limaratus rupiah menjadi hukuman penjara selamalamanya enam tahun atau denda sebanyak banyaknya lima belas juta rupiah.

Pasal 2 ayat (4).
merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis”.

Pasal 3 ayat (1)
“Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai dengan jiwa dan maksud undang-undang ini”.

Pasal 3 ayat (2)
“Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 4
“Terhitung mulai berlakunya peraturan perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-Undang ini mencabut ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad tahun 1912 nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad tahun 1935 nomor 526)”.

Pasal 5
“Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI

Sebanyak 9 (tujuh) norma, yaitu :

Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28C ayat (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Pasal 28E ayat (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan , memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh desempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atasdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apap pun.

Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 28I ayat (3)
Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya”.

Menurut Pemohon bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1),Pasal 28 E ayat (1),Pasal 28 H ayat (2),Pasal 28 I ayat (1),Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) telah dirugikan dengan norma yang akan diujikan yakni Pasal 303 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 303 bis ayat (1),(2) KUHP dan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi.

Pada hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda .

Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Perjudian adalah permainan di mana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan diantara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi pemenang.. Pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya kepada si pemenang. Peraturan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum pertandingan dimulai.

Didalam penjelasan Umum UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dijelaskan bahwa pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa, dan Negara.

Ditinjau dari kepentingan nasional,penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah,baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatipnya lebih besar daripada ekses positipnya.

Pemerintah Justru harus mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintah justru bertugas dan diberi tanggung jawab untuk menertibkan perjudian, antara lain dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya pada Pasal 303 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 303 bis ayat (1) dan ayat (2) serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5.

Ketentuan perundang-undangan mengenai larangan dan penertiban perjudian justru diperlukan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Mengingat bahwa Penjudian adalah salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Disamping itu bahwa akibat negative perjudian jauh lebih besar dari manfaatnya. Dengan demikian kepentingan pemohon secara individual harus juga dihadapkan dengan kepentingan dan maslahat orang banyak

Dengan demikian ketentuan untuk Pasal 303 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 303 bis ayat (1),(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1),Pasal 28 E ayat (1),Pasal 28 H ayat (2),Pasal 28 I ayat (1),Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.

Rabu, 03 Februari 2010

Tanggapan Uji Materiil UU SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional)

Tanggapan atas permohonan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap UUD 1945
(Nomor Perkara : 143/PUU-VII/2009)

Helza Nova Lita, M.H.

Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008, karena sangat merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon selaku perorangan sebagai warga Negara Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28H ayat (2) Yang berbunyi : “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”

Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) :

(1) Barang milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya barang milik Negara dimaksud sebagai asset SBSN.
(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa;
a. tanah dan/atau bangunan;dan
b. selain tanah dan/atau bangunan.

Pasal 11 ayat (1) :

Penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN.

Menurut pemohon dengan digunakannya Barang milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon selaku perorangan sebagai warga negara Indonesia terhadap tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut sudah hilang, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sehingga dengan demikian menurut Pemohon muatan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b; Pasal 11 ayat (1) UU SBSN telah bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945.

Salah satu dasar pertimbangan keluarnya UU SBSN dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan perekonomian nasional secara berkesinambungan, diperlukan pengembangan berbagai instrumen keuangan yang mampu memobilisasi dana publik secara luas dengan memperhatikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat; bahwa potensi sumber pembiayaan pembangunan nasional yang menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal.

Instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan.

Didalam penjelasan Umum UU SBSN bahwa Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya .

Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi. Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan surat berharga syariah, antara lain, meliputi Ijarah, Mudarabah, Musyarakah, Istishna', dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, serta kombinasi dari dua atau lebih dari Akad tersebut.

SBSN ini merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah maupun valuta asing berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, baik dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, serta wajib dibayar atau dijamin pembayaran Imbalan dan Nilai Nominalnya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN tersebut.

Perlu diketahui bahwa keterangan pemohon yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU SBSN ini khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b, serta Pasal 11 ayat (1), juga menurut pemohon bertentangan dengan ketentuan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, tidaklah demikian jika pemohon membaca keseluruhan UU SBSN dan memahami konsep surat berharga syariah Nasional secara utuh.

Dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dinyatakan bahwa Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan. Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang Milik Negara dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah. Cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN antara lain, penggunaan Barang Milik Negara sebagai bagian penyertaan dalam rangka kerja sama usaha dalam struktur SBSN Musyarakah (partnership).

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU SBSN juga disebutkan Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi pengguna Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberitahuan tersebut bukan merupakan permintaan persetujuan atau pertimbangan.

Pemanfaatan aset negara atau aset SBSN sebagai underlying assets dalam transaksi Sukuk Negara, hanya hak manfaat atas aset SBSN yang dijual atau disewakan kepada special purpose vehicle (SPV) yang dibentuk pemerintah berdasarkan UU SBSN. Dengan demikian tidak ada pengalihan fisik BMN, sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas kepemerintahan. Disamping itu, juga tidak ada pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara dan tidak ada pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas kepemerintahan, dan aset SBSN bukan sebagai jaminan (collateral). Saat jatuh tempo sukuk negara atau terjadi default, BMN dimaksud tetap dikuasai Pemerintah berdasarkan purchase & sale undertaking agreement. Penggunaan Barang Milik Negara sebagai underlying aset penerbitan sukuk negara juga dengan persetujuan DPR, termasuk jumlah SBSN/sukuk negara yang diterbitkan .

Berdasarkan penjelasan diatas, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan b, serta Pasal 11 UU SBSN. Demikian pula ketentuan pasal-pasal tersebut tidak ada bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan pemohon. Sehingga dengan demikian bahwa tidak ada hak konstitusional dari pemohon yang dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut dihubungkan dengan UUD 1945.

Rabu, 28 Oktober 2009

KAU teman terbaikku......

Allah..Tuhanku...
Engkau ada disini
Selalu dalam hatiku..
Teman terbaik dalam setiap langkahku...
Teman terbaikku..

Ketika semua menjauh..
Kau tak pernah menjauh..

Ketika semua mencampakkanku
Kau yang mengangkatku

Kau yang selalu menyapa dan kusapa...

Allah...
Kau indah sekali..
Kau maha baik sekali..
Maha diatas Maha...

Kau sapa aku lewat indahnya kalamMU...
Lewat hijaunya pepohonan..
Lewat sejuknya air sungai yang mengalir...
Lewat birunya langit....
Lewatnya sejuknya semilir angin...

Ya Rabb ku
Jangan pernah lepaskan aku dari genggamanMU...
Aku membutuhkanMU...selalu

Bandung, 29 Okt 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

kehadiranNYA.....

Tuhan ada dan hadir untuk semua
Dia bukan ekslusif kepunyaan mereka yang ada dilembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama semata
Dia menyapa kita dalam setiap detik dan denyut kehidupan…
Tak peduli dimanapun kita berada…dibelantara dunia yang jauh dari kehidupan agamapun Dia ada disana……

Kedekatan hamba kepada Tuhan tak dapat dinilai hanya dengan symbol dan baju belaka….
Karena Tuhan begitu dekat dengan kita...bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri....
Mereka yang hidup bersama Tuhan tidak berarti harus menjauh dari dunia.....
Satunya kata dan perbuatan....adalah salah satu bukti betapa akrabnya dia dengan Tuhan...
Kehadirannya begitu menyejukan...
Tak ada yang tersakiti dengan kata-kata dan canda yang keluar dari lidahnya....
Hadirnya rahmat buat sekelilingnya.....

Terkadang kita terjebak oleh simbol-simbol semata
Mengatasnamakan agama....
Namun ucap, kata, dan sikapnya kadang menjengkelkan....
Tak membawa angin kesejukan dan kedamaian...
Dimana makna kasih sayang yang sesungguhnya.....

Banyak orang mengatakan agama itu rakhmat
Namun sikap dan perbuatannya tidak membawa rahmat...
Smoga sikap dan perbuatan kita senantiasa memberikan rahmat dan kebaikan dimanapun kita berada
Biarlah orang menyadari kebaikan agama dari sikap dan perbuatan kita yang menyejukkan........

Jkt, 25 Okt 2009

Rabu, 21 Oktober 2009

Tanggapan Permohonan Pengujian Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhad

Helza Nova Lita

Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK), karena ketentuan tersebut secara khusus menurut Pemohon telah merugikan hak konstusionalnya yang sebagai perorangan warga negara yang merupakan hak asasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2).

Pasal 15 ayat (3) :

”Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara”

Menurut Pemohon dengan adanya kalimat terakhir dan dari rumusan Pasal 15 ayat (3) UUK diatas, dapat dipastikan para pemohon tidak mungkin dapat menangani perkara kepailitan lagi, walaupun Pemohon sudah membuat surat pernyataan tentang Penanganan Kasus Kepailitan, semata-mata karena para pemohon sudah menanggani perkara kepailitan lebih dari 3 (tiga). Selanjutnya menurut Pemohon bahwa ketentuan tersebut telah membatasi hak konstitusional para pemohon untuk memperoleh hak atas kesamaan kedudukan di depan hukum, dalam hal ini hak konstitusional para pemohon untuk menjadi kurator; dalam waktu bersamaan, ketentuan tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945, yakni hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; karena itu sesuai ketentuan UUD 1945 para pemohon harus diberikan hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif yang ditimbulkan oleh kalimat terakhir dari Pasal 15 ayat (3) UUK.

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUK bahwa Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Yang dimaksud dengan Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dalam penjelasan Pasal 15 Ayat(3) UUK disebutkan adalah bahwa kelangsungan keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitor atau Kreditor, dan Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis Debitor atau Kreditor.

Dalam ketentuan Penjelasan UUK menyebutkan beberapa asas yang dijadikan dasar dalam Bertitik Undang-Undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Asas-asas tersebut antara lain adalah Asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha,asas keadilan, dan asas integrasi.

Berkaitan dengan ketentuan Dalam Pasal 15 ayat (3) UUK mengandung makna adanya penerapan asas Keseimbangan, yaitu sebagaimana dalam penjelasan UUK dinyatakan bahwa asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Disamping itu juga untuk menjamin dilaksanakannkan asas keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Disamping bahwa asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
Dalam Penjelasan UUK disebutkan bahwa Kurator seringkali dihubungkan dengan Kepailitan. Pasal 1 angka 1 UUK mendefinisikan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Kurator menurut Pasal 1 angka 5 UUK tentang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Sejak putusan pernyataan pailit dinyatakan Pengadilan Niaga maka debitur (debitur pailit) secara hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus seluruh hartanya (harta pailit) yang mencakup semua harta debitur yang ada saat itu dan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali harta yang bukan bagian dari harta debitur namun berada dalam penguasaannya. Debitur tidak dapat lagi menjual, menghibahkan, menggadaikan atau mengagunkan hartanya. Kewenangan mengurus dan membereskan harta pailit karena hukum menjadi kewenangan Kurator. Sehingga tugas dari Kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
.Pembatasan yang diberikan terhadap Pasal 15 ayat (3) UUK tidak bertujuan untuk membatasi dan mengurangi hak dari kurator sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini berkaitan agar Kurator dapat lebih profesional, dan lebih berhati-hati serta fokus dalam melakukan tugasnya. Hal ini juga berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan tugas berat bagi kurator, sehingga harus didukung oleh kemampuan individual dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kurator harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, bersifat netral dan dapat dipercaya oleh semua pihak yang berkepentingan. Hal ini juga berkaitan dengan tanggung jawab yang juga dibebankan kepada Kurator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 72 UUK yang menyebutkan ”Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”.

Bentuk tanggungjawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain dilakukan melalui penyampaian laporan-laporan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 UUK, dimana dalam Pasal tersebut mengharuskan Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. Laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Peranan Kurator sebagaimana yang diatur dalam UUK oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi bagian pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Diharapkan pula bahwa kurator dapat bersifat lebih teliti dan hati-hati untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya atau juga kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor yang berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor.

Jumat, 16 Oktober 2009

Persyaratan Calon Anggota Legislatif

Era reformasi menuntut adanya pemerintahan yang baik dengan aparat yang baik pula. Era reformasi timbul dari adanya gerakan moralis dan sekaligus merupakan gerakan politik yang mempunyai konsep politik untuk melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan, dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan tujuan negara, seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Konsep politik gerakan reformasi ini mendapat dukungan yang luas pula dari publik. Gerakan reformasi ini menuntut adanya pemerintah yang baik dan untuk adanya pemerintah yang baik harus ada aparat pemerintah yang baik pula 1.

Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik 2.

Berkaitan dengan landasan teori dari perilaku aparat pemerintah dalam karya tulis buku Richar Beckhard ”Pengembangan Organisasi, Strategi, dan Model”, dikemukakan teori yang dirumuskan sebagai berikut ”Behaviour is a function of person and environment” yang artinya bahwa tingkah laku individu adalah fungsi dari, atau hasil kerja, atau sangat ditentukan oleh pribadi orangnya dan lingkungan yang dihadapinya. Pribadi seseorang dapat menentukan tingkah lakunya oleh sebab pengalaman seseorang, minat kepentingan ataupun bakat seseorang akan menentukan cara persepsi seseorang terhadap lingkungannya. Jadi berdasarkan teori tersebut, apabila kita menghendaki perilaku aparat pemerintah yang baik, yang tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka pribadi, yaitu pengalaman, bakat, dan minat kepentingan aparat pemerintah harus baik, kemudian lingkungan kerjanya juga harus baik 3 .

Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta sosial menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfkat nyata dari reformasi politik 1998. Dalam aspek politik dan hukum, reformasi birokrasi menjadi issue penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah bukan hanya di isi oleh para birokrat karier tertapi juga pejabat politik. Menurut teori liberal, bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Dengan demikian birokrasi pemerintah itu bukan hanya di isi oleh para birokrat, melainkan ada bagian bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier profesional.

kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interest. The political leadership bases its daim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some nation of the public interest. Supremasi mandat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakuakan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford, 1969).

Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi, menjadikan masalah baru, yaitu menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala inefisiensi, profesionalitas dan tidak jarang menjadi "sapi perahan" para politisi, demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Ada 3 (tiga) komponen yang menentukan untuk melahirkan tata pemeritahan yang baik, yakni pemerintah, swasta, dan rakyat. Disamping itu satu komponen yang amat menentukan, yaitu moral. Selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang seksama dalam pemerintah. Moral harus menjadi landasan bagi semua komponen untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik.

Moral merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi. Moral masing-masing pelaku akan berperan besar sekali dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Untuk pejabat-pejabat pemerintah, maka pertimbangan utama bagi setiap seleksi dan promosi pejabat birokrasi pemerintah harus didasarkan pada pertimbangan catatan moral mereka. Catatan moral ini harus ada di berkas (file) setiap pejabat dan pegawai pemerintah. Catatan ini diperoleh dari sikap, perilaku, dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing pejabat. Sebelum diangkat dalam posisi jabatan tertentu, maka pemerintah berkewajiban mengumumkan calon-calon tersebut kepada masyarakat.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir karena adanya keinginan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap tindakan administrasi Negara. Kebebasan administrasi Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum juga disebabkan karena tidak adanya hukum tertulis yang menjadi acuan bagi administrasi Negara untuk bertindak. Selain itu, seringkali wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan adalah samara-samar/tidak jelas atau dengan kata-kata yang sangat umum.Perlindungan hukum harus diberikan kepada kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan administrasi negara. Sarana perlindungan dari segi hukum tidak tertulis disebut sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (General Principles of Good Goverment).

HAN dan hukum pidana sama-sama terletak dalam bidang hukum publik, hukum pidana berfungsi sebagai hukum pembantu bagi HAN, artinya setiap peraturan perundang-undangan dalam HAN selalu disertai dengan sanksi pidana agar ditaati oleh masyarakat. Selain itu, peraturan perundang-undangan di bidang administrasi seperti UU Korupsi dan UU Subversi dapat dimasukkan ke dalam bidang hukum pidana.

Ilmu hukum secara garis besar membagi hukum ke dalam dua golongan, yaitu hukum privat (sipil) dan hukum public. Penggolongan ini berdasarkan isi dan sifat hubungan yang diatur. Hubungan tersebut bersumber pada kepentingan yang hendak dilindungi, adakalanya kepentingan tersebut bersifat perorangan (individu), namun adakalanya bersifat umum (publik).

Perbedaan antara hukum publik dan hukum privat telah ada sejak zaman Romawi. Ulpianus adalah orang pertama yang membedakan antara hukum yang berhubungan dengan kepentingan negara Romawi dengan hukum yang mengatur kepentingan orang perorangan.

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya yang di dalamnya termasuk Hukum Pidana, HTN dan Hukum Tata Pemerintahan (HAN). Secara historik, awalnya, HAN merupakan bagian dari HTN tetapi karena perkembangan masyarakat dan adanya tuntutan munculnya kaidah-kaidah hukum baru dalam studi HAN maka lama kelamaan HAN menjadi lapangan studi tersendiri, terpisah dari HTN.

Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu mata pelajaran dalam Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Administrasi. Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu cabang dari ilmu hukum. Sedangkan dalam Ilmu Administrasi HAN merupakan bahasan khusus tentang salah satu aspek (aspek hukum) dari Administrasi Negara. Di PBB dan dunia internasional, HAN dikelompokkan dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu adiministrasi.

Hukum administrasi terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak swasta tetapi kepada penguasa atau pemerintah. Diantara hukum privat dan hukum pidana terdapat hukum administrasi sehingga hukum administrasi disebut juga “hukum antara”. Misalnya dalam memberikan izin bangunan pemerintah harus memperhatikan segi-segi keamanan dari gedung yang direncanakan. Untuk itu pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan dan para pihak yang tidak mematuhi ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi pidana.

Dalam hukum pidana, sanksi pidana berlaku terhadap seseorang sejak dinyatakan sebagai tersangka sampai dengan dinyatakan sebagai terpidana dan berakhir atau selesai setelah terpidana menjalani sanksi pidana yang dijatuhkan hakim. Bahwa seseorang yang telah melaksanakan atau menjalani sanksi pidana menurut doktrin hukum pidana telah menjadi orang biasa dan dipulihkan hak-hak hukumnya seperti semula (sebelum menjadi terpidana), kecuali hakim menetapkan lain melalui penjatuhan pidana tambahan.

Wass. Thank's for reading. helzanova@yahoo.com


Catatan sumber-sumber referensi :

1.Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya BAndung, 2001, hlm. 27.

2. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 151.

3. Ibid