Selasa, 13 Mei 2008

PERSENGKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA T

PERSENGKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Oleh : Helza Nova Lita,MH

Abstrak

Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat. persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam praktek bisnis yang diatur dalam undang-undang antimonopoli. Persengkongkolan atau konspirasi dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Pada hakikatnya persaingan usaha yang tidak sehat yang akan mematikan potensi pasar dan kesempatan berusaha bagi berbagai lapisan masyarakat merupakan suatu bentuk kejahatan ekonomi. Dalam aktivitas perekonomian, semua pihak harus diberi kesempatan yang sama sesuai dengan usaha dan kontribusi yang adil dalam melakukan aktivitas tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945.

A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi di Indonesia, selama beberapa dekade belakangan ini telah mencatat banyak kemajuan yang cukup berarti. Kemajuan ini didukung dan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan hukum yang dikeluarkan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup, juga perlu adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi yang telah diperoleh tersebut secara menyeluruh dalam segenap lapisan masyarakat. Hal ini harus diupayakan agar tidak terjadi ketimpangan dan kecemburuan sosial di masyarakat[1]. Oleh karenanya, dalam melakukan kegiatan perekonomian harus diciptakan hubungan yang harmonis antara berbagai pihak yang terlibat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengusaha, pengusaha, maupun masyarakat sebagai konsumen. Kegiatan usaha yang dilakukan dengan cara fair, jujur, bertanggungjawab, serta memperhatikan aturan-aturan etika bisnis dapat menghindarkan adanya praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
Persaingan dunia usaha yang sehat akan menumbuhkan iklim ekonomi yang kondusif. Hanya dalam lingkungan persaingan ekonomi yang sehat yang dapat memberikan kemajuan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Pada umumnya Negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat sangat memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan perekonomian Negara yang bersangkutan. Disamping itu persaingan dunia usaha yang sehat tidak hanya memberikan kontribusi bagi kemajuan perekonomian negara, tetapi juga mendidik mental semua pihak yang terlibat dalam dunia usaha untuk jujur, kreatif, dan bertanggung jawab. Tentu sumber daya manusia yang demikian sangat mendukung bagi kemajuan suatu bangsa.
Persaingan dalam dunia usaha merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Persaingan dapat dibedakan atas persaingan sehat (fair competition) dan persaingan tidak sehat (unfair competition). Persaingan usaha yang tidak sehat pada akhirnya akan mematikan persaingan dan dapat menimbulkan monopoli. Monopolitik dibidang ekonomi ini sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, karena mematikan jalannya mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif, yang pada akhirnya akan dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis2.

B. PEMBAHASAN
1. Dasar Hukum Pembangunan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat di Indonesia
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya3.
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu4.
Didalam Pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan antara lain :
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan :
a. Menggembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.
b. Mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan kepentingan social dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar (Gutmann, 1991 ; Stockman; 1994).
Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi Negara. Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk – bentuk kejahatan bisnis tersebut.
Lahirnya UU Anti monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah RI untuk menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari undang-undang antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persengkongkolan bisnis. Bagaimanapun jug ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif DPR untuk memiliki UU Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoly disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka5.
2. Bentuk-Bentuk Larangan Usaha menurut UU Antimonopoli
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha. Dalam Black’s Law Dictionary, Monopoli diartikan sebagai
“a privilege or peculiar advantange vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of whole supply of a particular commodity”6.

Dalam undang-undang antimonopoli, monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha.
Selain dari definisi monopoli dalam undang-undang juga diberikan pengertian praktek dari monopoli , yaitu :
“Pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.

Dari definisi yang diberikan diatas diketahui unsur-unsur praktek monopoli ini yaitu :7
adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;
pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; dan
pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah :
“penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan atas satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa”; dan “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”.


Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat atau sering disebut dengan undang-undang antimonopoli diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat. Pada hakikatnya persaingan usaha yang tidak sehat yang akan mematikan potensi pasar dan kesempatan berusaha bagi berbagai lapisan masyarakat merupakan suatu bentuk kejahatan ekonomi. Dalam aktivitas perekonomian, semua pihak harus diberi kesempatan yang sama sesuai dengan usaha dan kontribusi yang adil dalam melakukan aktivitas tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945.
Kegiatan lain yang dilarang dalam berdasarkan undang-undang antimonopoli meliputi :
Monopoli; dalam Pasal 17 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Monopsoni; dalam Pasal 18 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Penguasaan Pasar; dalam Pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a). menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b). menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c) membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d). melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Predatory Pricing; dalam Pasal 20 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi aatau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Penetapan Biaya; dalam Pasal 21 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
6. Persekongkolan (Conspiracy to arrange); dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
7. Perolehan rahasia perusahaan; dalam Pasal 23 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
8. Penghambatan produksi dan pemasaran pesaing; dalam Pasal 24 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Selain kegiatan yang dilarang diatas, dalam undang-undang anti monopoli juga mengatur mengenai perjanjian yang dilarang yang meliputi :
Oligopoli
Penetapan harga
Diskriminasi Harga
Predatory Pricing
Resale Price Maitenance
Pembagian wilayah
Pemboikotan
Kartel
Trust
Oligopsoni
Integrasi Vertikal
Perjanjian tertutup dan Tying
Perjanjian dengan pihak luar negeri yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam praktek bisnis yang diatur dalam undang-undang antimonopoli Persengkongkolan atau konspirasi dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Namun demikian, dalam praktek tidak dapat dipungkiri masih banyaknya pelanggaran yang berkaitan dengan persaingan usaha yang tidak sehat. Seperti kasus persenkongkolan untuk memenangkan proyek tender yang melibatkan baik perusahaan BUMN maupun swasta. Salah satu contoh kasus persengkongkolan yang dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus persenkongkolan terhadap tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang merugikan Negara dan Peserta tender yang lain. Sehingga dengan demikian dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan bisnis. Persengkongkolan tersebut juga disinyalir bekerjasama dengan BPPN, Untuk itu KPPU merekomendasikan kepada Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN. KPPU juga memutuskan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP dilarang mengikuti segala transaksi yang terkait dengan BPPN selama dua tahun. Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan adanya penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
UU Antimonopoli mengatur pula larangan penyalahgunaan posisi dominan, jabatan rangkap, konsentrasi pemilikan saham, serta larangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Berkaitan dengan jabatan rangkap yang dilarang dalam undang-undang antimonopoli, bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut :
berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
secara bersama-sama dapat menguasai pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono,S.H., dalam bukunya yang berjudul “Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional” , berkaitan dengan praktek bisnis yang tidak sehat, menjelaskan bahwa bukan hanya praktek-praktek persaingan usaha saja yang perlu dilarang, akan tetapi termasuk klausula dalam kontrak yang secara nyata menyebabkan timbulnya keuntungan yang tidak wajar atau tidak sebanding dengan besarnya pada satu pihak, sementara pihak yang lain pada saat yang sama semakin terdesak kedudukan ekonominya. Selanjutnya beliau menjelaskan kontrak-kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dapat dikualifikasikan contracts in restraint of trade : 10
1. Price Fixing Contracts : adalah kontrak tentang penetapan harga yang dilakukan oleh para pengusaha yang bersaing yang berisi penetapan harga jual suatu barang/produk. Tujuan dari kontrak ini adalah untuk menghilangkan salah satu bentuk persaingan usaha.
2. Division of Markets : adalah suatu persetujuan diantara para pengusaha untuk membagi wilayah pemasaran menjadi bagian mereka masing-masing, lengkap dengan hak-hak istimewa atau eksklusif untuk pemasaran produk mereka.
3. Tying in atau Tie in Contract : adalah suatu kontrak dagang yang berisi ketentuan bahwa penjual akan menjual suatu barang kepada pembeli, jika pembeli juga membeli barang dari penjual yang sama. Barang tersebut biasanya saling dikaitkan satu dengan yang lain.
4. Exclusive Contracts : dalam system hukum “common law”, yang dimaksud dengan exclusive contract adalah suatu kontrak dalam hal mana saja satu pihak setuju untuk mengikat dirinya dengan suatu kewajiban untuk menjual atau membeli barang untuk semua kebutuhannya hanya dari satu orang tertentu saja.
5. Group Boycotts : adalah persekongkolan antara beberapa perusahaan untuk secara bersama-sama menolak menjalin hubungan dagang dengan satu atau beberapa perusahaan tertentu, dengan maksud untuk menghilangkan persaingan yang ditimbulkan oleh perusahaan yang bersekongkol atau untuk membatasi kegiatan bisnis dari pihak ketiga itu.
6. Monopolization and Intent to Monopolize : merupakan suatu “ combine or conspire to acquire or maintain power to exclude competitors from any part of trade of commerce, provided they also have such power that they are able, as agroup, to exclude actual or potential competition and provided that they have intent and purpose to exercise that power (Black, Henry Campbell, 1979 ; Donnel, Barnes, Metzger, 1980).
7. Merger : adalah suatu usaha peleburan dari suatu perusahaan ke dalam perusahaan lain dimana perusahaan satu perusahaan tetap mempertahankan identitasnya semula, melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab dan kuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut yang tidak lagi menjadi satu badan usaha yang mandiri.
8. Price Discrimination : yaitu pembeli harus membayar harga yang berbeda dibandingkan dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang yang sama. Kebijakan Price Discrimination yang dilakukan pengusaha biasanya bertujuan untuk mengalahkan saingannya sehingga praktek ini jelas dapat menganggu mekanisme pasar.
9. Interlocking Directorate : yaitu apabila dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang sama.
10. Unfair Labor Practices : yaitu tindakan yang tidak layak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja yang mereka gunakan, misalnya tindakan diskriminasi, ancaman dan tekanan, larangan pembentukan serikat buruh, dan sebagainya.
Dalam Pasal 50 undang-undang anti monopoli memuat kegiatan yang dikecualikan sebagai berikut :
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelekktual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian eelektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa tidak mengekang, dan atau menghalangi persaingan; atau
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia; atau
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak menganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
kegiatan usaha koperasi yang khusus bertujuan untuk melayani kebutuhan anggotanya.
Prinsip moral seperti kebenaran, kebaikan dan keadilan yang menjadi panutan individu sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dari sikap tindak. Seperti hukum, etika menjadi standar tingkah laku individu, namun etika tidak ditegakan dan dipaksakan oleh kekuasaan luar seperti pemerintah atau negara. Standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu yang bersangkutan8.
Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan disamping aspek hukum juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Namun demikian walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, terkadang menemui kesulitan dalam prosedur penerapan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Semua keputusan bisnis yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan yang mempengaruhi orang banyak, organisasi, dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menimbulkan masalah etika yang serius9.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran pelaksananaan ketentuan undang-undang antimonopoly secara garis besar meliputi :10
Sanksi administrasi (Pasal 47 Ayat (2) )
Sanksi Pidana pokok (Pasal 48 ); dan
Sanksi Pidana Tambahan (Pasal 49)
Sanksi administrasi dalam Pasal 47 Ayat (2), antara lain dapat berupa
pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk menghantikan integrasi vertical, menghentikan kegiatan usaha, pembayaran ganti rugi dan denda sebesar-besarnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) dan serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).
Sementara itu untuk sanksi pidana pokok meliputi pidana denda dan atau pengganti denda pidana kurungan. Sementara itu sanksi pidana tambahan dapat meliputi :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
4. Kasus Persengkongkolan
Terhadap Tender Penjualan Saham PT. Indomobil
Hasil pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk menyimpulkan telah terjadi persenkongkolan dalam pelaksanaan tender yang merugikan negara, dengan melibatkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk itu, KPPU merekomendasikan kepada Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN.
KPPU memutuskan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP dilarang mengikuti segala transaksi yang terkait dengan BPPN selama dua tahun. Kewajiban membayar denda Rp 10,5 milyar itu dijatuhkan secara bersama-sama kepada pengusaha Pranata Hajadi (bos PT Lautan Luas, anggota Konsorsium CSDP) dan Jimmy Masrin (juga dari PT CSDP), PT Holdiko Perkasa (perusahaan induk yang menampung aset-aset eks Grup Salim) Rp 5 milyar, PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) Rp 1,5 milyar, dan PT Bhakti Asset Management (BAM) Rp 1 milyar.
Menurut KPPU, persekongkolan dalam pelaksanaan tender telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga dapat dikenai sanksi pembatalan. Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan adanya penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
Penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP itu, dimungkinkan karena peranan Pranata Hajadi yang menjadi anggota Konsorsium Alfa Sekuritas (sebagai pesaing CSDP dalam proses tender-Red), dan kemudian belakangan diketahui ternyata berpindah menjadi anggota Konsorsium CSDP waktu CSDP menang. Selain kemiripan dalam pembuatan dokumen tender, KPPU juga menemukan kesamaan perilaku peserta tender, yaitu antara BAM, ASI, dan CSDP. Ketiganya mengajukan ditiadakannya bid deposit (jaminan penawaran), material threshold, serta tidak menyebutkan keanggotaan konsorsium.
Peran Holdiko dan BPPN sebagai penjual, dan DTT sebagai konsultan BPPN dalam penjualan saham Indomobil, dalam persekongkolan adalah dengan menolerir terjadinya pelanggaran prosedur oleh peserta tender. Toleransi ini dilakukan dengan tetap memproses keikutsertaan ketiga peserta tender, meskipun ketiganya tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan. Ketiganya tidak memberikan warranty letter (surat jaminan), tidak menyebutkan identitas konsorsium, dan tidak membayar bid deposit melalui rekening PT Holdiko Perkasa di Citibank.
BPPN dan Holdiko tetap menerima penyerahan dokumen final bid (penawaran akhir) dari CSDP, meskipun penyerahannya melebihi batas waktu yang telah ditetapkan, dan menerima CSDP sebagai pemenang meskipun mengetahui telah terjadi perubahan total pemegang saham CSDP berikut komisaris dan direksinya. Padahal, sesuai ketentuan tidak diperbolehkan ada perubahan apa pun selama 60 hari terhitung sejak batas akhir waktu penawaran tanggal 4 Desember 2002. BPPN juga tetap menerima BAM sebagai peserta tender. Padahal, BAM baru menandatangani Confidentiality Agreement tanggal 3 Desember 2001, sementara batas waktu penawaran tanggal 4 Desember 2001.
Sementara peranan Trimegah adalah membantu CSDP mendapatkan Info Memo, prosedur pengajuan penawaran, draf CSPLTA kepada PT CSDP. Seharusnya CSDP tidak berhak mendapatkannya, karena tidak menandatangani Confidentiality Agreement. Tidak hanya itu, Trimegah juga memberi kemudahan kepada Pranata Hajadi, yang sebelumnya menjadi investor tunggal ASI, untuk menjadi investor CSDP, sebelum CSDP dinyatakan sebagai pemenang tender. Pranata Hajadi adalah juga Direktur Utama PT Eka Surya Indah Pratama (ESIP), anggota grup dari Trimegah. ESIP disiapkan oleh Trimegah untuk pengambilalihan perusahaan lain. Demikian juga CSDP. Dengan kata lain, CSDP, ESIP, dan Trimegah adalah satu grup.
Tindakan PT. tindakan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP), PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) dan PT Bhakti Asset Management (BAM), sebagai para pihak yang ikut dalam tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan BBPN dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan bisnis yang merugikan pelaku usaha yang lain dan termasuk persenkongkolan yang dilarang menurut undang-undang antimonopoli. Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersenkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
Tindakan persekongkolan tersebut dapat dilihat dari beberapa tindakan mereka sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan dokumen tender oleh dua dari tiga peserta, hal ini dimungkinkan karena peranan Pranata Hajadi yang menjadi anggota Konsorsium Alfa Sekuritas dan kemudian belakangan diketahui ternyata berpindah menjadi anggota Konsorsium CSDP waktu CSDP menang.
b. Adanya kesamaan perilaku peserta tender, yaitu antara BAM, ASI, dan CSDP. Ketiganya mengajukan ditiadakannya bid deposit (jaminan penawaran), material threshold, serta tidak menyebutkan keanggotaan konsorsium.
c. Adanya peranan Trimegah adalah membantu CSDP mendapatkan Info Memo, prosedur pengajuan penawaran, draf CSPLTA kepada PT CSDP. Seharusnya CSDP tidak berhak mendapatkannya, karena tidak menandatangani Confidentiality Agreement.
d. Kesamaan orang dalam jabatan yang berbeda dari beberapa perusahaan yang terlibat dalam usaha memenangkan tender penjualan saham PT. Indomobil, yakni peranan Pranata Hajadi, yang sebelumnya menjadi investor tunggal ASI, untuk menjadi investor CSDP, sebelum CSDP dinyatakan sebagai pemenang tender. Pranata Hajadi adalah juga Direktur Utama PT Eka Surya Indah Pratama (ESIP), anggota grup dari Trimegah. ESIP disiapkan oleh Trimegah untuk pengambilalihan perusahaan lain. Demikian juga CSDP. Dengan kata lain, CSDP, ESIP, dan Trimegah adalah satu grup.
Berdasarkan bukti-bukti diatas maka dapat kita simpulkan bahwa tindakan para pihak tersebut diatas dapat dikategorikan persekongkolan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang antimonopoli
Selanjutnnya dalam undang-undang antimonopoli ada tiga bentuk larangan persekongkolan, yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mangatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
b. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sehingga rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
c. Pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan / atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Tindakan persekongkolan penawaran tender penjualan saham PT.Indomobil Sukses Internasional, Tbk ini dihubungkan dengan kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dikualifikasikan sebagai contracts in restraint of trade merupakan Interlocking Directorate yaitu apabila dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang sama. Hal ini terlihat adanya kesamaan orang dalam jabatan yang berbeda dari beberapa perusahaan yang terlibat dalam usaha memenangkan tender penjualan saham PT. Indomobil seperti yang telah dijelaskan diatas.
Ditinjau dari sudut etika bisnis, persekongkolan dalam penawaran tender penjualan saham PT. Indomobil Sukses Internasional, Tbk tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran. Dari bukti dan data yang ada, serta kesamaan para pihak yang melaksanakan tender tersebut menunjukan adanya itikad yang tidak baik dari para pihak untuk memenangkan tender secara tidak sehat.
Sanksi hukum yang dapat diterapkan terhadap persekongkolan berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 undang-undang antimonopoli para pihak yang terlibat dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, maupun sanksi pidana tambahan. Persengkongkolan antara PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) , PT Holdiko Perkasa (perusahaan induk yang menampung aset-aset eks Grup Salim) , PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) , dan PT Bhakti Asset Management (BAM) dalam penawaran tender saham PT. Indomobil Sukses Tbk yang melibatkan BPPN sebagai pelaksana tender dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:
1. Sanksi administrasi; berdasarkan pasal 47 Ayat (2), sanksi administrasi ini dapat berupa pembatalan perjanjian, pembayaran ganti rugi, dan penggenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).
2. Sanksi Pidana Pokok, berdasarkan Pasal 48 Ayat (1), dapat diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00 (seratur miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
3. Sanksi pidana tambahan, berdasarkan Pasal 49 dapat berupa : pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi dan komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, serta penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Berkaitaan dengan sanksi hukum bagi pejabat pemerintah yang terlibat dalam kegiatan praktek bisnis yang tidak sehat seperti kasus persengkongkolan penjualan saham PT. Indomobil diatas yang melibatkan BPPN, undang-undang antimonopoli tidak memberikan aturan yang tegas mengenai hal ini. Hal ini tentunya dapat menghambat tercapainya tujuan undang-undang antimonopoly, khususnya dalam kasus tender proyek pemerintah karena meskipun dapat dibuktikan adanya keterlibatan pejabat pemerintah dalam suatu pelanggaran, KPPU tidak dapat menjatuhkan sanksi hukum11.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Tindakan .PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP), PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) dan PT Bhakti Asset Management (BAM), sebagai para pihak yang ikut dalam tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan BBPN dapat dikategorikan sebagai kejahatan bisnis karena merugikan pelaku usaha yang lain dan termasuk persekongkolan yang dilarang menurut undang-undang antimonopoli. Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping itu juga persekongkolan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap etika bisnis.
Berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 undang-undang antimonopoli para pihak yang terlibat dalam persekongkolan yang menyebabkan timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, maupun sanksi pidana tambahan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya lebih bersifat proaktif dalam melakukan pengawasan usaha persaingan bisnis tidak hanya sebatas menunggu laporan pengaduan dari civil society organization atau dari pelaku usaha yang mengalami kerugian akibat tindakan persaingan usaha tidak sehat. KKPU seharusnya juga mengawasi berbagai kebijakan dan kondisi yang berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, dan tugasnya juga memberikan peringatan dini atas keadaan itu dan supaya pihak-pihak yang terlibat menyetop dan tidak melanjutkan perbuatannya/kebijakannya.
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat , seharusnya memuat aturan yang tegas tentang keterlibatan pejabat pemerintah yang ikut terlibat dalam melakukan kegiatan persaingan bisnis yang tidak sehat.
E. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku - Buku

Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1991.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum BIsnis Anti Monopoli, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, November 1999.

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.

B. Makalah

Erman Rajagukguk, makalah “Hukum Ekonomi Indonesia, Memperkuat
Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Den Pasar 14 – 18 Juli 2003.

C. Majalah
Editorial, Membudayakan Persaingan Sehat, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan
Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni
2002.

Sutan Remy Sjahdeni, Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan
Monopoli, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan
Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002.

Syamsul Ma’arif, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis,
Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002.

D. Perundang-Undangan.

UUD 1945

TAP MPR NO. IV/ MPR/1999 tentang GBHN

UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat.

iii
[1] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum BIsnis Anti Monopoli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, November 1999, hlm. 7.
2 Editorial, Membudayakan Persaingan Sehat, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 4.
3 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 110.


4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 40 – 41.

5 Sutan Remy Sjahdeni, Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 5.
6 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm 12 – 13.
7 Ibid, hlm. 17 – 18.
10 Sunaryati hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1991, hlm. 135 – 142.
8 Erman Rajagukguk, makalah “Hukum Ekonomi Indonesia, Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Den Pasar 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5.
9 Ibid, hlm. 7
10 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 64
11 Syamsul Ma’arif, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 49.

PASAR MODAL SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN BUMN DALAM RANGKA MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN NASIONAL

PASAR MODAL SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN BUMN DALAM RANGKA MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Oleh : Helza Nova Lita

A. Pendahuluan
Azas pemerataan merupakan salah satu landasan yang digunakan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Dengan azas pemerataan ini diharapkan seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat dari pembangunan tanpa terkecuali. Demikian juga dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam konteks pasar modal, semangat pelaksanaan azas pemerataan diarahkan kepada keikutsertaan masyarakat umum untuk berperan serta aktif dalam kegiatan pasar modal, diantaranya dengan turut memiliki saham-saham perusahaan yang listing di pasar modal. Keikutsertaan masyarakat dalam memantau perkembangan nilai harga saham perusahaan di pasar moda akan turut memberikan andil bagi perusahaan untuk beekerja dengan kinerja yang lebih baik.
Dalam Penjelasan UUPM disebutkan bahwa sesuai dengan tujuan dari pasar modal Indonesia, yakni untuk menunjang pelaksanaan Pembangunan Nasional guna meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat, maka industri ini harus mampu memainkan 2 (dua) peran strategisnya sekaligus, yakni sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi dunia usaha – termasuk usaha menengah dan kecil untuk pengembangan usahanya – dan sebagai wahana investasi bagi masyarakat, termasuk pemodal kecil dan menengah di dalamnya15.
Dalam pelaksanaan misi dan visi pasar modal Indonesia, menyitir pendapat Dirjen Industri dan Dagang Kecil Menengah (IDKM) Marwoto bahwa Keberpihakan lembaga dan profesi penunjang yang terkait dengan pasar modal, misalnya bursa efek dan perusahaan penjamin emisi, terhadap usaha kecil menengah dan koperasi dinilai belum optimal.Dia mengemukakan selama ini pasar modal sebagai sumber permodalan hanya dimanfaatkan pelaku bisnis skala besar. Di kalangan pengusaha kecil dan menengah belum populer. Hal ini disebabkan informasi, pemahaman, dan pengetahuan usaha kecil dan menengah tentang pasar modal sebagai alternatif pembiayaan masih kurang16.
Namun dalam perkembangannya, kini Bursa sudah mulai memberikan ruang memberikan ruang berusaha pada kelompok usaha kecil menengah dan koperasi. Hal ini antara lain disebabkan melihat potensi kelompok pengusaha itu yang terbukti bisa selamat dari badai krisis ekonomi, akhirnya Bursa Efek Jakarta mengakomodasi kepentingan kelompok usaha itu di bursa efek.Usaha kecil menengah diberi kesempatan memanfaatkan pasar modal bagi pengembangan modal melalui papan pengembangan. Dengan syarat, pencatatan saham lebih ringan.Antara lain perusahaan telah berdiri sebagai PT minimal setahun, beroperasi minimal enam bulan, aset minimal Rp 10 miliar, dan boleh dalam kondisi merugi usaha sepanjang menunjukkan tren membaik16

B. Pembahasan
1. Status BUMN yang melakukan privatisasi melalui pasar modal
Program restrukturisasi dan privatisasi yang tertuang dalam UU BUMN merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan peranan BUMN dalam mensukseskan pembangunan nasional serta mengatasi permasalahan kerugian dalam tubuh BUMN. Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
Privatisasi harus dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan yang matang, tidak hanya dari sudut ekonomi, namun juga dari sudut hukum, sosial politik, budaya, pertahanan dan keamanan negara. Tidak semua BUMN dapat harus diprivatisasi. Dalam Pasal 77 UU BUMN telah diatur mengenai ketentuan persero yang tidak bisa diprivatisasi, yakni :
1. Persero yang bidang usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola Kepemilikan saham-saham BUMN;
2. Persero yang bergerak disektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara;
3. Persero yang bergerak di skctor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
4. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.
Kepemilikan saham BUMN oleh pihak swasta baik nasional maupun asing dalam program privatisasi seharusnya tidak melebihi saham kepemilikan Negara RI sebesar paling sedikit 51% dari keseluruhan modal perusahaan yang terbagi dalam saham. Karena kepemilikan saham tersebut sangat memiliki peranan penting bagi Negara RI dalam mengatur kebijakan BUMN. Keikutsertaan pihak swasta nasional maupun asing diharapkan dapat memacu kinerja BUMN yang selama ini diketahui banyak mengalami kerugian.
BUMN yang melakukan privatisasi di pasar modal sesuai dengan UUPT menjadi perusahaan terbuka. Dengan status sebagai perusahaan terbuka BUMN tersebut berdasarkan UUPT harus memenuhi persyaratan dan kewajiban perseroan sebagai berikut:
1. Memiliki modal dan jumlah pemegang saham sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal ( Pasal 1 Angka 6)
2. Penambahan pada akhir kata nama perseroan dengan singkatan “Tbk” (Pasal 13 Ayat (3) ).
3. Perubahan anggaran dasar yang disebabkan karena perubahan status perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka harus mendapat persetujuan menteri dan didaftarkan dalam daftar perusahaan serta diumumkan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini ( Pasal 15 Ayat (1) dan Ayat (2) ).
4. Setiap pengeluaran saham harus disetor penuh dengan tunai ( Pasal 27 Ayat (4)
5. Kewajiban menyerahkan perhitungan tahunan perseroan kepada akuntan publik untuk diperiksa ( Pasal 95 Ayat (1) bagian a).
6. Kewajiban untuk melakukan panggilan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan melalui 2 (dua) surat kabar harian ( Pasal 69 Ayat (1) dan Ayat (3) ).
7. Kewajiban menyampaikan pengumuman mengenai akan diadakannya panggilan RUPS paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum panggilan RUPS melalui 2 (dua) surat kabar harian ( Pasal 70 Ayat (1) dan Ayat (2) ).
8. Perseroan terbuka wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota direksi ( Pasal 79 Ayat (2) ).
BUMN yang sudah go public, sesuai dengan Pasal 127 UUPT berlaku
ketentuan Pasar Modal. Dalam pasal tersebut dijelaskan :
“Bagi setiap perseroan yang melakukan kegiatan tertentu di bidang pasar
modal berlaku undang-undang ini, sepanjang tidak diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”.
Dalam UUPM mensyaratkan bahwa setiap perusahaan yang go public harus memberikan laporan-laporan secara terbuka kepada masyarakat tentang kondisi perusahaan yang dapat mempengaruhi harga saham perusahaan yang bersangkutan. Kewajiban pelaporan-pelaporan tersebut harus dilaksanakan tidak hanya pada awal pendaftaran sebagai perusahaan public di Bapepam dan Bursa Efek tetapi juga setelah pernyataan sebagai perusahaan public dinyatakan efektif.


2. Peranan BUMN dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional
BUMN dalam sistem perekonomian nasional, ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu mengembangkan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil privatisasi.
Pajak merupakan salah satu sumber dana dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Berkaitan dengan pemasukan pajak dari BUMN, pemerintah mentargetkan dapat menerima pajak sekitar 20 persen dari BUMN pada 2004. Total target penerimaan pajak tahun 2004 sebesar Rp 219,4 triliun. Diharapkan sebesar 20 persen diantaranya atau Rp 38 - 40 triliun disumbang oleh BUMN. Sampai diakhir tahun 2003, direktorat pajak telah menerima Rp 196,8 triliun (94,5 persen). Jumlah itu diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh) non migas (Rp 94,6 triliun), PPh migas (Rp 16,9 triliun), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Rp 73,1), Pajak Bumi dan Bangunan (Rp 10,9), dan sumber pajak lainnya17.
Kontribusi BUMN dalam pendanaan pembangunan melalui pajak dilihat dari data yang ada, kenyataan bahwa dari 168 BUMN dengan total asset kurang lebih Rp. 850 triliun, beberapa tahun yang lalu bukannya memberi sumbangan kepada APBN, tetapi malah menjadi beban APBN, karena total rugi laba negative sebesar Rp. 27 triliun. Selain itu, beban negara juga ditambah dengan BUMN yang tidak bisa membayar hutangnya dan yang berada dibawah pengawasan BPPN. Kenyataan bahwa bank-bank BUMN yang menerima bantuan dana rekap sebesar Rp. 287,4 triliun dengan total asset Rp. 458,330 triliun hanya bisa membayar pajak sebesar Rp. 2,55 triliun, sedang bank-bank asing dengan total asset Rp.64,96 triliun, bisa membayar pajak sebesar Rp.528 miliar. Dengan demikian presentase pajak pada bank BUMN adalah 0,550% sedang pada bank asing 0,18%. Demikian pula perkembangan antara PT. Perkebunan Nussantara 2 yang 100% BUMN dengan areal 77.895 Ha, hanya membayar PPH sebesar 78 miliar dan dividen 3,0 , sedang PT. Socfindo yang 10% BUMN dengan 90% swasta dengan areal 29.436 Ha, mampu membayar PPH sebesar Rp. 130 Miliar daan dividen 112,018.
Data pertumbuhan BUMN dalam pendapatan usaha tahun 1998 – 2001 mencantumkan bahwa hanya 42 BUMN yang mempunyai kontribusi sebesar 90% terhadap total laba BUMN. Dalam 42 BUMN ini hanya ada 13 BUMN yang bisa masuk dalam Hight Suistainable Growth (HSG) yang tumbuh rata-rata 7% hingga 18%. Dari 168 BUMN, hanya 108 yang dapat meraih laba, sedang sisanya sebanyak 60 BUMN selalu merugi. Sehingga dengan demikian perlu upaya pemerintah untuk memberdayakan BUMN ini dengan cara restrukturisasi usaha dan privatisasi19.
Guna mewujudkan target penerimaan pajak BUMN untuk pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan Negara, perlu dilakukan dengan melihat kondisi tingkat kesehatan dan kinerja BUMN. Pencapaian target tersebut harus pula diimbangi dengan budaya perusahaan yang melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance atau tata laksana usaha yang baik. Perusahaan yang menerapkan prinsip ini, pada umumnya memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip ini sangat berkaitan dengan moralitas dan tanggung jawab yang tinggi dari pelaksana usaha itu sendiri.



C. PENUTUP
1. Keberadaan pasar modal sangat diharapkan dapat membantu dalam mensukseskan pembangunan nasional yang berorentasi kepada kesejahteraan rakyat. Perusahaan dapat memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif dalam pembiayaan perusahaan. Disamping itu juga masyarakat umum juga diberi kesempatan untuk menginvestasikan dananya melalui pasar modal. Namun demikian diakui bahwa keberpihakan pasar modal terhadap usaha kecil, menengah, dan koperasi belum begitu optimal. Pasar modal masih berorientasi pada usaha skala besar. Dengan demikian hal ini perlu di perbaiki lebih lanjut, agar usaha kecil, menengah dan koperas dapat diberdayakan lebih optimal.
2. Perseroan yang melakukan privatisasi melalui pasar modal menyebabkan perseroan menjadi perseroan terbuka. Akibat hukum perubahan perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka antara lain meliputi adanya : Kewajiban menyerahkan perhitungan tahunan perseroan kepada akuntan publik untuk diperiksa,kewajiban untuk melakukan panggilan Rapat Umum Pemegang Saham paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan melalui 2 (dua) surat kabar harian, penyerahan setiap laporan perseroan yang akan menngakibatkan turun naiknya harga saham sebagaimana yang diatur dalam UUPM.
3. Peranan BUMN sebagai aparatur perekonomian negara dan salah satu unsur
dalam kehidupan ekonomi nasional disamping swasta dan koperasi diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam mensukseskan pembangunan naasional. Namun demikian, dari beberapa hasil data yang ada, cenderung menunjukan adanya ketertinggalan BUMN jika dibandingkan dengan sector swasta. Hal ini antara lain dapat dilihat dari hasil penerimaan pajak dari sektor BUMN tidak sebesar yang diberikan oleh pihak swasta. Bahkan tidak sedikit pemerintah terus memberikan suntikan dana, namun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaan BUMN tersebut. Tentu hal ini perlu dibenahi sehingga BUMN dapat memberikan keuntungan dan kontribusi yang besar dalam mensukseskan pembangunan nasional, sehingga ketergantungan dana pembangunan terhadap pihak asing dapat diminimalisasi.












15 Herwidayatmo, “Alternatif Pendanaan bagi UKM”,seminar dalam rangka peraayaan HUT IWAPI ke-27 Jakarta 20 Maret 2002, http://www.bapepam.go.id/publikasi/pidato/UKM.htm,retriieved 07 Desember 2004
16 Pasar Modal belum optimal, majalah online suara merdeka 13 November 2001, http://suaramerdeka.com/harian/0111/13/eko2.htm, retrieved 07 Desember 2004
16 Ibid
17 Ekonomi Bisnis, Pemerintah Targetkan 20 Persen Penerimaan Pajak Dari BUMN Pada 2004, Tempo Interaktif, Jakarta, 29 Desember 2003.

18 Max Moein, Menyoroti Kebijakan Pemerintah daalam Pengelolaan, Pembinaan dan Pengawasan BUMN, Makalah seminar BUMN, Kementrian BUMN bekerjasama dengan PT. Swat Indonesia, Jakarta, 18 s..d. 19 September 2003.
19 ibid.

Kamis, 08 Mei 2008

Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Bank Syariah

Penyelesaian Sengketa dalam transaksi perbankan syariah
Oleh : Helza Nova Lita
Dalam hukum Islam setiap bentuk perjanjian wajib ditaati oleh para pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang tertuang dalam Firman Allah QS. Al – Maidah (5) : 1 : sebagai berikut : “ Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”.
Penyelesaian sengketa bank syariah dapat menggunakan jalur peradilan umum. Namun demikian ada permasalahan hukum yang dapat muncul dalam ketentuan hukum positif yang dipakai oleh hakim dalam mengadili sengketa L/C tersebut. Sebagai contoh dalam penyelesaian sengketa perdata melalui badan peradilan Indonesia pada umunya menggunakan ketentuan berdasarkan KUH Perdata. Sementara itu ketentuan L/C syariah mengacu selain tunduk pada ketentuan hukum nasional juga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Syariah Islam.
Untuk menjembatani adanya perbedaan hukum yang berlaku dalam perjanjian antara nasabah dan bank syariah apakah KUHPerdata sebagai hukum positif yang diakui di Indonesia atau hukum Islam. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya “Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia” mengemukakan bahwa selain asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata, terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukukm perjanjian. Asas tersebut menentukan bahwa apabila di dalam perjanjian tidak diatur mengenai hal yang dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu telah diatur oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata, maka ketentuan dalam KUHPerdata itu yang diberlakukan. Namun jika hal tersebut telah diatur dalam perjanjian, tetapi isinya berbeda dengan pengaturan dalam KUHPerdata, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan dalam perjanjian itu dengan ketentuan sepanjang pengaturan dalam hukum perjanjian tidak merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dwingendrecht). Jika ketentuan dari hukum perjanjian dalam KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ketentuan dari hukum perjanjian itu harus diberlakukan, sedangkan ketentuan-ketentuan dari perjanjian itu batal demi hukum. Selanjutnya Sutan Remy Sjachdeini mengemukakan, bahwa sebagin besar ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam KUHPerdata bersifat tidak memaksa (aanvullend recht), artinya, boleh disimpangi oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat lain di dalam perjanjian yang dibuat oleh mereka[1].
Kebebasan untuk memilih termasuk "kebebasan untuk berkontrak" bagi setiap individu selain bersifat kudrati dan hak paling asasi serta merupakan bagian dari pengertian yang lebih luas dari definisi "ibadah mu'amalah", maka dalam hubungan dengan negara, juga mendapat jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 yakni, "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dengan demikian jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep syariah Islam sebagai keyakinan yang dianutnya[2].
.

Demikian pula dalam hubungan jual beli antara importir dan eksportir. juga termasuk kontrak internasional, mengingat kedua belah pihak berada dalam wilayah negara yang berbeda.. Dalam hal ini, jika terjadi sengketa diantara mereka, penyelesaian hukum yang digunakan dapat mengunakan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa perdata internasional.
Dalam penyelesaian sengketa perdata internasional, pada umunya para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri forum dan hukum yang dapat mereka gunakan untuk menyelesaikan sengketa yang dapat timbul dalam pelaksanaan transaksi tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum di masing-masing dinegara yang berlaku.
Jika dalam kontrak perdata internasional tidak dicantumkan pilihan forum maupun pilihan hukumnya, Hukum Perdata Internasional memberikan beberapa teori mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya sebagai berikut :
Teori Lex Loci Contractus ; yaitu hukum suatu kontrak ditentukan oleh hukum dimana kontrak itu dibuat. Namun dalam perkembangan praktek dagang internasional hal ini ada kesulitan untuk menentukan tempat jika para pihak yang melangsungkan suatu kontrak tidak bertemu muka secara langsung[3]. Sebagai contoh dalam aplikasi penerbitan L/C, hal ini dapat terjadi jika para pihak membuat kesepakatan tidak bertemu secara langsung, tetpi menggunakan melalui media elektronik, misalnya dengan menggunakan media internet.
Teori Lex Loci Solutionis ; yaitu hukum yang berlaku atas suatu kontrak didasarkan pada tempat dimana perjanjian itu dilaksanakan. Pada umumnya memang lazim dalam kontrak-kontrak dagang internasional, sesuai dengan praktek perdagangan yang menjadi kebiasaan, bahwa ditentukan tempat penyerahan barang-barang bersangkutan atau dimana jasa-jasa yang harus diberikan akan diterima. Namun teori ini juga dapat menimbulkan kesulitan jika ada beberapa tempat pelaksanaan kontrak tersebut[4]. Dalam hubungannya dengan praktek penerbitan L/C, tampaknya juga ada kesulitan mengingat penerbitan L/C melibatkan tempat wilayah yang berbeda antara Negara importir dan eksportir.
The Proper Law of the Contract ; yaitu hukum yang berlaku atas suatu kontrak berdasarkan “intention of the parties” yakni maksud para pihak dengan melihat fakta-fakta yang secara tidak langsung menunjukan keinginan para pihak untuk memberlakukan suatu hukum tertentu.
The Most Characteristic Connection ; yaitu hukum yang berlaku atas sutau kontrak adalah tergantung prestasi siapa yang paling karakteristik atau paling dominan[5]. Sebagai contoh dalam transaksi jual beli, kepentingan penjual dianggap sebagai prestasi paling dominan dalam menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak. Dalam aplikasi L/C dianggap hukum dari pihak beneficiary/eksportir dianggap paling dominan.
Dilihat dari beberapa teori diatas, penggunaan dalam penyelesaian sengketa dagang internasional dapat dilihat tergantung kasus yang terjadi. Meskipun dalam praktek teori The Proper Law of the Contract dan The Most Characteristic Connection untuk masa sekarang lebih tepat untuk digunakan.



[1] Sutan Remy Sjachdeini, Op.Cit, hlm. 135 – 136.

[2]Rachmat Syafei’i,TinjauanYuridis Bank Syariah, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp, 03 oktober 2005.
[3] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku kedelapan jilid Ketiga (bagian kedua), Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm. 12 – 13.
[4] Ibid, hlm. 16 – 17.

[5] Catatan perkuliahan Hukum Perdata Internasional, Program Magister Ilmu Hukum Universitas padjadjaran, tahun akademik 2005/2006.
PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA
Oleh : Helza Nova Lita

A.PENDAHULUAN
Selama masa orde lama dan permulaan orde baru banyak BUMN baru didirikan, disamping BUMN yang berasal dari nasionalisasi perusahaan asing. Ketika itu perusahaan-perusahaan swasta belum banyak berperan. Setelah krisis ekonomi dan moneter, banyak dari BUMN masih berjalan dengan baik dan memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. Sedangkan perusahaan-perusahaan besar yang dinamakan konglomerat baru tumbuh pada akhir masa orde baru. Namun setelah krisis ekonomi dan moneter tahun 1997, sebagian dari konglomerat ini hancur, sebabnya antara lain karena melakukan penggembangan usaha-usaha jangka panjang dengan meminjam uang jangka pendek dari perbankan dalam negeri dan asing. Perbuatan mereka ini tidak dapat dicegah karena KKN dengan rezim yang berkuasa pada saat itu14
Landasan Konstitusional BUMN di Indonesia adalah Pasal 33 UUD 1945. Jadi kegiatan ekonomi dala bentuk perusahaan yang dikendalikan oleh Negara adalah dalam rangka pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 tersebut.Peranan Badan Usaha milik Negara (BUMN) sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia sebagai salah satu perusahaan yang dikelola oleh negara sebagai salah satu sumber pembiayan pembangunan nasional. Dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN) adalah:
“ badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Status BUMN yang berbentuk perseroan selain mengacu kepada UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN), juga mengacu pada UU No. 1 tahun 1995 tentang Perusahaan Terbatas (UUPT). Terhadap persero terbuka juga berlaku UUPM.
Untuk meningkatkan kinerja BUMN dilakukan upaya antara lain dengan melakukan restrukturisasi,antara lain dengan melakukan privatisasi. Didalam UU BUMN, privatisasi merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

B. PEMBAHASAN
1. Dasar Hukum Pengelolaan BUMN
BUMN sebagai suatu badan usaha negara, secara otomatis membutuhkan legitimasi hukum dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, bahwa hukum harus difungsikan untuk mengatur dan mengarahkan BUMN agar senantiasa bersesuaian dengan tujuan negara.
Ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi dasar pengelolaan BUMN di Indonesia yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
4. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menkeu pada Persero, Perum dan Perjan kepada Menteri Negara BUMN.
7. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.

2. Maksud dan Tujuan Pendirian BUMN
Maksud dan tujuaan didirikannya BUMN disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU BUMN, yaitu untuk :
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
2. Mengejar keuntungan;
3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

3. Privatisasi BUMN
Badan Usaha milik Negara dalam Pasal 1 angka UU BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Untuk meningkatkan kinerja BUMN dilakukan upaya antara lain dengan melakukan restrukturisasi,antara lain dengan melakukan privatisasi. Didalam UU BUMN, privatisasi merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Privatisasi menurut Pasal 74 UU BUMN dilakukan dengan maksud untuk :
1. memperluas kepemilikan masyarakat persero
2. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan
3. menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/
kuat.
4. menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif
5. menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global
6. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Dalam UU BUMN dijelaskan bahwa privatisasi merupakan penjualan saham perseroan, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi Negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi dapat dilakukan dengan cara:
1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan Pasar Modal.
Yang dimaksud dengan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal antara lain adalah penjualan saham melalui penawaran umum (Initial Public Offering / Go Public), penerbitan obligasi konversi dan efek lain yang bersifat ekuitas. Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) bagi BUMN yang terdaftar di bursa.
2. Penjualan saham langsung kepada investor.
Yang dimaksud dengan penjualan saham langsung kepada investor adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) atau investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini, khusus berlaku bagi penjualan saham BUMN yang belum terdaftar di bursa.
3.Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan penjualan saham kepada
manajemen (Management Buy Out /MBO) dan/ atau karyawan (Employee
Buy Out/EBO) adalah penjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu
perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan
yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Pasal 75 UU BUMN beserta penjelasannya dinyatakan bahwa privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Pelaksanaan privatisasi dilakukan secara transparan, baik dalam proses penyiapannya maupun dalam pelaksanaannya. Proses privatisasi dilaksanakan dengan berpedoman pada prosedur privatisasi yang telah ditetapkan tanpa ada intervensi dari pihak lain di luar mekanisme korporasi serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Proses privatisasi juga dilakukan dengan berkonsultasi secara intensif dengan pihak-pihak terkait, sehingga proses dan pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. (helzanova@yahoo.com)

Pendidikan adalah Hak Warga Negara

Pendidikan sebagai HAM Warga Negara dan Penegakannya dalam Realita

Helza Nova Lita
helzanova@yahoo.com


A. Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa hanya akan terwujud dengan baik jika dilandaskan kepada kecerdasan. Kecerdasan dalam mengelola intelektual, emosional, dan spiritual akan menciptakan manusia yang memiliki mental jasmaniah dan rohaniah yang berimbang yang sangat dibutuhkan untuk mengemban misi mereka baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial (monodualisme).
Namun apa jadinya bila suatu bangsa mengabaikan makna pendidikan. Pembodohan akan menjadi merajalela, penguasa bebas menarik hidung mereka karena ketidaktahuannya, dan akhirnya kemiskinan tak dapat terelakan. Kedua hal tersebutlah sangat ditakuti oleh Rasulullah Muhammad SAW, karena hal tersebut sangat rentan membawa manusia kedalam kekafiran.


B. Pembahasan
Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana tertuang dalam salah satu tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara yang menyatakan :

“ Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) bukan negara berdasarkan kekuasaan belakan (Maachstaat)”

menunjukan bahwa Bangsa Indonesia menjunjung tinggi penengakan hukum. Hukum sebagai panglima dalam mengatur segala kebijakan Negara. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tersebut tanpa kecualinya, demikian amanat Pasal 27 UUD 1945.

Namun tidak bisa kita menafikan bahwa dalam penegakan hukum di Indonesia begitu masih banyak ketimpangan yang terjadi. Tidak sedikit aturan-aturan yang ada hanya seperti rangkaian kata-kata yang indah tanpa ada tindakan nyata. Merupakan pertanyaan dan pekerjaan yang besar bagi kita semua untuk menjawab tantangan mengapa kita lebih mampu membuat aturan daripada menegakkan aturan itu sendiri.

Singapura sebagai salah satu Negara maju dikawasan Asia Tenggara turut memuji atas konsep Dasar Negara Pancasila di Indonesia. Kalau kita lihat dari bunyi Sila pertama yang menempatkan Tuhan sebagai inti dari sila-sila yang lain atau kaitannya dengan Hablumminallah dan Sila kedua yang menempatkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab atau dalam arti kata Hablumminannass. Suatu konsep yang sangat ideal yang selaras dengan konsep Islam yang harus senantiasa menjaga hubungan vertikal dengan Allah SWT dan hubungan horizontal dengan sesama manusia.

Bukan ingin pesimis dengan kondisi di Indonesia sekarang ini. Memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama untuk membenahi kembali kondisi Negara kita sekarang. Memang hal ini merupakan pekerjaan yang tidak hanya mungkin ditanggung oleh pemerintah semata,namun juga komponen-komponen dalam masyarakat itu sendiri. Adanya sinergi kebersamaan bekerjasama untuk bahu membahu keluar dari keterpurukan bangsa adalah hal mutlak yang harus kita pikul bersama, tanpa harus saling menghujat dan mencerca. Saya sangat sependapat dengan konsep Al-Ghazali mengenai Negara, bahwa Negara adalah puncak kerjasama.Tanpa kerjasama yang baik sulit bagi kita semua untuk keluar dari krisis dan keterpurukan bangsa ini. Kerjasama yang harmonis baik dari para lembaga-lembaga tinggi Negara, komponen-komponen dalam masyarakat, serta para individu-individu dalam masyarakat itu sendiri.

Melihat permasalahan di Indonesia yang begitu komplek, memang tidak mungkin kita dapat merubahnya dalam waktu sekejap atau seperti membalikan telapak tangan. Namun tentunya yang paling utama yang perlu mendapat pembinaan prioritas adalah Sumber Daya Manusianya itu sendiri. Tanpa SDM yang baik, apapun bentuk kerjasama, peraturan, dan lain sebagainya akan menjadi tidak efektif dan efisien. Sebaik apapun aturan hukum yang ada, hanya akan menjadi rangkaian kata-kata mati jika manusia itu sendiri sudah lupa diri. Seperti suatu ungkapan “membangun jembatan itu penting, namun membangun mental para manusia yang membuat jembatan tersebut jauh lebih penting “! Karna kalau prioritas kita hanya membangun fisik dari jembatan itu tanpa dibekali mental dan moral yang baik dari manusia yang membangunnya, boleh jadi dana yang disalurkan pada pembangunan jembatan tersebut akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

Pembentukan SDM yang berkualitas baik dari segi jasmaniah maupun rohanian, tidak dapat dapat dipungkiri tanpa adanya peningkatan dalam bidang pendidikan. Namun sangat disayangkan, ternyata dalam praktek selama ini Kita tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Anggaran pendidikan yang minim, kurangnya tenaga-tenaga pendidik yang professional, sampai mahalnya biaya pendidikan menjadikan banyak warga Negara Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan. Lebih-lebih dengan adanya privatisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis semakin mempersempit kesempatan pendidikan bagi kalangan bawah dan menengah. Hal ini sangat bertentangan dengan bunyi Pasal 31 Amandemen UUD 1945 yang menyatakan :

“(1) Setiap warganegara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah
wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Dari bunyi pasal diatas, kita telah memiliki payung hukum yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan, yang kemudian di implementasikan lebih lanjut dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Namun sekali lagi kita masih dalam takaran konsep yang ideal yang tidak sedikit dalam kenyataannya tidak sejalan. Atau dengan kata lain Das Sein dan Das Sollen nya sangat pincang.

Memang pendidikan bukan hanya otoritas tanggungjawab Negara semata, namun juga komponen-komponen yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Namun Negara sebagai ujung tombak yang memiliki kekuasaan tentunya sangat diharapkan untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.

Negara juga berkewajiban untuk mensejahterahkan warganegaranya (welfare state). Karna pengabaian pendidikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pendidikan dan penggembangan diri. Hal ini terakomodir dalam salah satu Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia Pasal 28C Amandemen UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :

“(1) Setiap orang berhak menggembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.

Jelas dalam pasal tersebut, pendidikan adalah setiap orang yang berarti tidak dapat diabaikan begitu saja. Karna pelanggaran hak orang lain merupakan wujud pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi.

Namun demikian, sebagaimana yang sebelumnya telah saya uraikan, bahwa tanggungjawab pendidikan tidak hanya ada pada negara semata, namun juga segenap komponen yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Berbicara mengenai pendidikan tidak hanya kita lihat dari ruang lingkup yang sempit saja seperti pendidikan pada jalur-jalur formal yang berjenjang sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, ataupun melalui jalur-jalur pendidikan informal melalui kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan, Namun juga pendidikan melalui jalur-jalur lainnya, terutama media massa baik tertulis maupun elektronik.

Media televisi sekarang ini sangat memegang peranan penting dalam transfer informasi karna penyebarannya yang luas dan mudah diakses masyarakat. Untuk itu perlu ada kerjasama yang baik antara pemerintah untuk memantau tayangan televisi agar tidak menampilkan tayangan yang tidak mendidik masyarkat. Namun tentunya disini sangat dibutuhkan adanya “Good Will” niat yang tulus untuk benar-benar memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bukan menjadikan televisi sebagai ajang propaganda kepentingan penguasa, atau sebaliknya bukan untuk mengekang kreatifitas insan pertelevisian itu sendiri. Sangat disayangkan jika muatan materi acara televise tidak terkontrol dan bebas menayangkan program-program yang hanya menampilkan budaya-budaya hedonisme, kekerasan, serta berbagai fenomena budaya yang merusak kepribadian bangsa. Program-program tersebut dapat meracuni pemikiran masyarakat, terutama para generasi muda yang masih mencari bentuk jati dirinya. Untuk itu Insan pertelevisian sangat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif bagi penyebaran informasi yang mengandung unsur pendidikan demi ikut bekerja sama memajukan kecerdasasan bangsa.

Suri tauladan yang baik dari para pemimpin bangsa, tokoh-tokoh masyarakat, serta para pendidik juga sangat berdampak terhadap efektivitas dari tujuan pendidikan itu sendiri, bukan hanya sekedar aturan atau retorika semata. Karna saat ini masyarakat, khususnya para generasi muda sekarang, akan lebih menghormati dan menghargai jika para generasi sebelumnya memberikan contoh dan tauladan yang baik. Seperi ungkapan puisi yang saya tulis berikut ini :

Ajari Kami….

Ajari Kami damai
Bukan Keresahan
Ajari kami kejujuran
Bukan Kepura-puraan
Ajari kami kasih sayang
Bukan Permusuhan
Ajari kami keadilan
Bukan keserakahan
Ajari kami cinta
Bukan kebencian
Ajari kami arti hidup sesungguhnya
Bukan kamuplase


C. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Untuk menciptakan Indonesia sebagai Negara yang maju, maka pendidikan adalah ujung tombaknya.
2. Pendidikan adalah hak setiap warga Negara
3. Pelanggaran Hak warga Negara atas pendidikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran Ham.
4. Tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Negara dan segenap komponen-komponen yang ada dalam masyarakat, terutama media massa.
5. Pemerintah segera merealisasikan peraturan-peraturan yang telah ada dalam bidang pendidikan, dan segenap komponen masyarakat, LSM, Komnas HAM, senantiasa mengingatkan, mengawasi, dan senantiasa memberikan masukan baik kepada pemerintah maunpun masyarakat itu sendiri mengenai pentingnya pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik guna mencapai kemajuan bersama.




¨ Mahasiswa Pascasarjana Unpad dan Dosen FH Unikom, disampaikan sebagai makalah peserta dalam Diskusi Pakar tentang Pemenuhan Hak atas IPTEK, Seni, dan Budaya, Kerjasama KOMNAS HAM dan FH UNISBA, Bandung, 28-29 November 2005.