Rabu, 28 Oktober 2009

KAU teman terbaikku......

Allah..Tuhanku...
Engkau ada disini
Selalu dalam hatiku..
Teman terbaik dalam setiap langkahku...
Teman terbaikku..

Ketika semua menjauh..
Kau tak pernah menjauh..

Ketika semua mencampakkanku
Kau yang mengangkatku

Kau yang selalu menyapa dan kusapa...

Allah...
Kau indah sekali..
Kau maha baik sekali..
Maha diatas Maha...

Kau sapa aku lewat indahnya kalamMU...
Lewat hijaunya pepohonan..
Lewat sejuknya air sungai yang mengalir...
Lewat birunya langit....
Lewatnya sejuknya semilir angin...

Ya Rabb ku
Jangan pernah lepaskan aku dari genggamanMU...
Aku membutuhkanMU...selalu

Bandung, 29 Okt 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

kehadiranNYA.....

Tuhan ada dan hadir untuk semua
Dia bukan ekslusif kepunyaan mereka yang ada dilembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama semata
Dia menyapa kita dalam setiap detik dan denyut kehidupan…
Tak peduli dimanapun kita berada…dibelantara dunia yang jauh dari kehidupan agamapun Dia ada disana……

Kedekatan hamba kepada Tuhan tak dapat dinilai hanya dengan symbol dan baju belaka….
Karena Tuhan begitu dekat dengan kita...bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri....
Mereka yang hidup bersama Tuhan tidak berarti harus menjauh dari dunia.....
Satunya kata dan perbuatan....adalah salah satu bukti betapa akrabnya dia dengan Tuhan...
Kehadirannya begitu menyejukan...
Tak ada yang tersakiti dengan kata-kata dan canda yang keluar dari lidahnya....
Hadirnya rahmat buat sekelilingnya.....

Terkadang kita terjebak oleh simbol-simbol semata
Mengatasnamakan agama....
Namun ucap, kata, dan sikapnya kadang menjengkelkan....
Tak membawa angin kesejukan dan kedamaian...
Dimana makna kasih sayang yang sesungguhnya.....

Banyak orang mengatakan agama itu rakhmat
Namun sikap dan perbuatannya tidak membawa rahmat...
Smoga sikap dan perbuatan kita senantiasa memberikan rahmat dan kebaikan dimanapun kita berada
Biarlah orang menyadari kebaikan agama dari sikap dan perbuatan kita yang menyejukkan........

Jkt, 25 Okt 2009

Rabu, 21 Oktober 2009

Tanggapan Permohonan Pengujian Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhad

Helza Nova Lita

Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK), karena ketentuan tersebut secara khusus menurut Pemohon telah merugikan hak konstusionalnya yang sebagai perorangan warga negara yang merupakan hak asasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2).

Pasal 15 ayat (3) :

”Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara”

Menurut Pemohon dengan adanya kalimat terakhir dan dari rumusan Pasal 15 ayat (3) UUK diatas, dapat dipastikan para pemohon tidak mungkin dapat menangani perkara kepailitan lagi, walaupun Pemohon sudah membuat surat pernyataan tentang Penanganan Kasus Kepailitan, semata-mata karena para pemohon sudah menanggani perkara kepailitan lebih dari 3 (tiga). Selanjutnya menurut Pemohon bahwa ketentuan tersebut telah membatasi hak konstitusional para pemohon untuk memperoleh hak atas kesamaan kedudukan di depan hukum, dalam hal ini hak konstitusional para pemohon untuk menjadi kurator; dalam waktu bersamaan, ketentuan tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945, yakni hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; karena itu sesuai ketentuan UUD 1945 para pemohon harus diberikan hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif yang ditimbulkan oleh kalimat terakhir dari Pasal 15 ayat (3) UUK.

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUK bahwa Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Yang dimaksud dengan Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dalam penjelasan Pasal 15 Ayat(3) UUK disebutkan adalah bahwa kelangsungan keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitor atau Kreditor, dan Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis Debitor atau Kreditor.

Dalam ketentuan Penjelasan UUK menyebutkan beberapa asas yang dijadikan dasar dalam Bertitik Undang-Undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Asas-asas tersebut antara lain adalah Asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha,asas keadilan, dan asas integrasi.

Berkaitan dengan ketentuan Dalam Pasal 15 ayat (3) UUK mengandung makna adanya penerapan asas Keseimbangan, yaitu sebagaimana dalam penjelasan UUK dinyatakan bahwa asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Disamping itu juga untuk menjamin dilaksanakannkan asas keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Disamping bahwa asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
Dalam Penjelasan UUK disebutkan bahwa Kurator seringkali dihubungkan dengan Kepailitan. Pasal 1 angka 1 UUK mendefinisikan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Kurator menurut Pasal 1 angka 5 UUK tentang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Sejak putusan pernyataan pailit dinyatakan Pengadilan Niaga maka debitur (debitur pailit) secara hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus seluruh hartanya (harta pailit) yang mencakup semua harta debitur yang ada saat itu dan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali harta yang bukan bagian dari harta debitur namun berada dalam penguasaannya. Debitur tidak dapat lagi menjual, menghibahkan, menggadaikan atau mengagunkan hartanya. Kewenangan mengurus dan membereskan harta pailit karena hukum menjadi kewenangan Kurator. Sehingga tugas dari Kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
.Pembatasan yang diberikan terhadap Pasal 15 ayat (3) UUK tidak bertujuan untuk membatasi dan mengurangi hak dari kurator sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini berkaitan agar Kurator dapat lebih profesional, dan lebih berhati-hati serta fokus dalam melakukan tugasnya. Hal ini juga berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan tugas berat bagi kurator, sehingga harus didukung oleh kemampuan individual dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kurator harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, bersifat netral dan dapat dipercaya oleh semua pihak yang berkepentingan. Hal ini juga berkaitan dengan tanggung jawab yang juga dibebankan kepada Kurator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 72 UUK yang menyebutkan ”Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”.

Bentuk tanggungjawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain dilakukan melalui penyampaian laporan-laporan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 UUK, dimana dalam Pasal tersebut mengharuskan Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. Laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Peranan Kurator sebagaimana yang diatur dalam UUK oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi bagian pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Diharapkan pula bahwa kurator dapat bersifat lebih teliti dan hati-hati untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya atau juga kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor yang berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor.

Jumat, 16 Oktober 2009

Persyaratan Calon Anggota Legislatif

Era reformasi menuntut adanya pemerintahan yang baik dengan aparat yang baik pula. Era reformasi timbul dari adanya gerakan moralis dan sekaligus merupakan gerakan politik yang mempunyai konsep politik untuk melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan, dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan tujuan negara, seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Konsep politik gerakan reformasi ini mendapat dukungan yang luas pula dari publik. Gerakan reformasi ini menuntut adanya pemerintah yang baik dan untuk adanya pemerintah yang baik harus ada aparat pemerintah yang baik pula 1.

Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik 2.

Berkaitan dengan landasan teori dari perilaku aparat pemerintah dalam karya tulis buku Richar Beckhard ”Pengembangan Organisasi, Strategi, dan Model”, dikemukakan teori yang dirumuskan sebagai berikut ”Behaviour is a function of person and environment” yang artinya bahwa tingkah laku individu adalah fungsi dari, atau hasil kerja, atau sangat ditentukan oleh pribadi orangnya dan lingkungan yang dihadapinya. Pribadi seseorang dapat menentukan tingkah lakunya oleh sebab pengalaman seseorang, minat kepentingan ataupun bakat seseorang akan menentukan cara persepsi seseorang terhadap lingkungannya. Jadi berdasarkan teori tersebut, apabila kita menghendaki perilaku aparat pemerintah yang baik, yang tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka pribadi, yaitu pengalaman, bakat, dan minat kepentingan aparat pemerintah harus baik, kemudian lingkungan kerjanya juga harus baik 3 .

Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta sosial menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfkat nyata dari reformasi politik 1998. Dalam aspek politik dan hukum, reformasi birokrasi menjadi issue penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah bukan hanya di isi oleh para birokrat karier tertapi juga pejabat politik. Menurut teori liberal, bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Dengan demikian birokrasi pemerintah itu bukan hanya di isi oleh para birokrat, melainkan ada bagian bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier profesional.

kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interest. The political leadership bases its daim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some nation of the public interest. Supremasi mandat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakuakan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford, 1969).

Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi, menjadikan masalah baru, yaitu menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala inefisiensi, profesionalitas dan tidak jarang menjadi "sapi perahan" para politisi, demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Ada 3 (tiga) komponen yang menentukan untuk melahirkan tata pemeritahan yang baik, yakni pemerintah, swasta, dan rakyat. Disamping itu satu komponen yang amat menentukan, yaitu moral. Selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang seksama dalam pemerintah. Moral harus menjadi landasan bagi semua komponen untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik.

Moral merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi. Moral masing-masing pelaku akan berperan besar sekali dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Untuk pejabat-pejabat pemerintah, maka pertimbangan utama bagi setiap seleksi dan promosi pejabat birokrasi pemerintah harus didasarkan pada pertimbangan catatan moral mereka. Catatan moral ini harus ada di berkas (file) setiap pejabat dan pegawai pemerintah. Catatan ini diperoleh dari sikap, perilaku, dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing pejabat. Sebelum diangkat dalam posisi jabatan tertentu, maka pemerintah berkewajiban mengumumkan calon-calon tersebut kepada masyarakat.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir karena adanya keinginan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap tindakan administrasi Negara. Kebebasan administrasi Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum juga disebabkan karena tidak adanya hukum tertulis yang menjadi acuan bagi administrasi Negara untuk bertindak. Selain itu, seringkali wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan adalah samara-samar/tidak jelas atau dengan kata-kata yang sangat umum.Perlindungan hukum harus diberikan kepada kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan administrasi negara. Sarana perlindungan dari segi hukum tidak tertulis disebut sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (General Principles of Good Goverment).

HAN dan hukum pidana sama-sama terletak dalam bidang hukum publik, hukum pidana berfungsi sebagai hukum pembantu bagi HAN, artinya setiap peraturan perundang-undangan dalam HAN selalu disertai dengan sanksi pidana agar ditaati oleh masyarakat. Selain itu, peraturan perundang-undangan di bidang administrasi seperti UU Korupsi dan UU Subversi dapat dimasukkan ke dalam bidang hukum pidana.

Ilmu hukum secara garis besar membagi hukum ke dalam dua golongan, yaitu hukum privat (sipil) dan hukum public. Penggolongan ini berdasarkan isi dan sifat hubungan yang diatur. Hubungan tersebut bersumber pada kepentingan yang hendak dilindungi, adakalanya kepentingan tersebut bersifat perorangan (individu), namun adakalanya bersifat umum (publik).

Perbedaan antara hukum publik dan hukum privat telah ada sejak zaman Romawi. Ulpianus adalah orang pertama yang membedakan antara hukum yang berhubungan dengan kepentingan negara Romawi dengan hukum yang mengatur kepentingan orang perorangan.

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya yang di dalamnya termasuk Hukum Pidana, HTN dan Hukum Tata Pemerintahan (HAN). Secara historik, awalnya, HAN merupakan bagian dari HTN tetapi karena perkembangan masyarakat dan adanya tuntutan munculnya kaidah-kaidah hukum baru dalam studi HAN maka lama kelamaan HAN menjadi lapangan studi tersendiri, terpisah dari HTN.

Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu mata pelajaran dalam Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Administrasi. Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu cabang dari ilmu hukum. Sedangkan dalam Ilmu Administrasi HAN merupakan bahasan khusus tentang salah satu aspek (aspek hukum) dari Administrasi Negara. Di PBB dan dunia internasional, HAN dikelompokkan dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu adiministrasi.

Hukum administrasi terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak swasta tetapi kepada penguasa atau pemerintah. Diantara hukum privat dan hukum pidana terdapat hukum administrasi sehingga hukum administrasi disebut juga “hukum antara”. Misalnya dalam memberikan izin bangunan pemerintah harus memperhatikan segi-segi keamanan dari gedung yang direncanakan. Untuk itu pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan dan para pihak yang tidak mematuhi ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi pidana.

Dalam hukum pidana, sanksi pidana berlaku terhadap seseorang sejak dinyatakan sebagai tersangka sampai dengan dinyatakan sebagai terpidana dan berakhir atau selesai setelah terpidana menjalani sanksi pidana yang dijatuhkan hakim. Bahwa seseorang yang telah melaksanakan atau menjalani sanksi pidana menurut doktrin hukum pidana telah menjadi orang biasa dan dipulihkan hak-hak hukumnya seperti semula (sebelum menjadi terpidana), kecuali hakim menetapkan lain melalui penjatuhan pidana tambahan.

Wass. Thank's for reading. helzanova@yahoo.com


Catatan sumber-sumber referensi :

1.Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya BAndung, 2001, hlm. 27.

2. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 151.

3. Ibid

Uji Materiil UU Pornografi

Tanggapan Uji Materiil Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21,dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945


Oleh : Helza Nova Lita, SH, MH


Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi :
”Pornografi adalah gambar, skesta, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Pasal 4 ayat (1) :
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, meyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin;
f. pornografi.

Pasal 20 :
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21 :
(1) Peran serta masyarakat sebagamana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara :
a. melaporkan pelanggaran undang-undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 :

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal-pasal tersebut diatas menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28 A, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 I Ayat (3), Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 28 A UUD 1945 :

”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 :

“(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak memajukan dirinya memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 :

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945 :

”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan menggembangkan nilai-nilai budayanya”

Bahwa untuk memahami UU Pornografi perlu membaca pasal-pasal secara komperhensif yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga dengan demikian penafsirannya tidak bersifat parsial pada ketentuan pasal tertentu saja.

Pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa definisi ”pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi berakibat tidak adanya kepastian hukum, karena konsep kesusilaan antar daerah/suku berbeda-beda, tidak beralasan secara yuridis. UU Pornografi tidak bertujuan mengekang keberagaman budaya dan konsep kesusilaan antar daerah/suku yang berbeda. Salah satu tujuan UU Pornograi justru untuk menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 3 UU Pornografi yang berbunyi sebagai berikut

”Undang-undang ini bertujuan :
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusian;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan;
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat”.

Bahwa adanya alasan pemohon bahwa UU Pornografi ini akan mengubah konsep kebhinekaan dan mengancam persatuan dan kesatuan di Indonesia pun tidak beralasan secara yuridis dan terlalu berlebihan. Justru UU Pornografi ini pengaturannya juga disesuaikan dengan konsep kebhinekaan yang ada di Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pornografi sebagai berikut :

“ Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”.

Selanjutnya alasan pemohon yang menyebutkan bahwa para pekerja seni tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan mengesankan ketelanjangan yang berupa lukisan, ukiran,pahatan, patung-patung serta kerajinan khas lainnya dapat dianggap melanggar batasan pornografi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pornografi. Ketentuan ini juga perlu dihubungkan kembali dengan penafsiran yang bersifat komperhensif dari pasal-pasal lainya dalam UU Pornografi seperti pada Pasal 2 mengenai asas pengaturan pornografi, Pasal 3 mengenai tujuan undang-undang pornografi, Pasal 15 dan Pasal 16 mengenai Perlindungan anak, Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 tentang Pencegahan.

Tentu saja UU Pornografi tidak bertendensi untuk mematikan potensi pencarian nafkah para pekerja seni sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan undang-undang pornografi yang tercantum dalam Pasal 3. Penjualan benda-benda seni tersebut sepanjang memang merupakan ciri khas seni dan budaya daerah yang bersangkutan maka hal ini tentu bukan merupakan ketentuan yang dilarang oleh UU Pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, yaitu bahwa salah satu tujuan undang-undang pornografi adalah menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dengan adanya UU Pornografi ini justru melindungi budaya bangsa Indonesia yang plural namun tidak disalahgunakan untuk tujuan pornografi yang bertendensi pada komersialisasi seks dimasyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf e, bahwa salah satu tujuan UU Pornografi adalah untuk mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Berdasarkan keterangan diatas, tidak ada pertentangan antara UU Pornografi dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Perlu disadari bahwa munculnya UU Pornografi ini juga berkaitan dengan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi warga negaranya terutama para anak-anak dan perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 huruf d dari akibat berbagai kegiatan yang bertendensi pornografi yang merusak. Demikian pula fakta kenyataan yang terjadi di masyarakat begitu maraknya aksi kejahatan yang ditimbulkan akibat tayangan-tayangan dan informasi yang bermuatan pornografi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Staf Ahli Menkes Bidang Kesehatan dan Globalisasi Ratna Rosita dalam Harian Koran Jakarta, tanggal 03 Maret 2009, bahwa maraknya informasi tentang pornografi memicu kekerasan seksual yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) baik fisik maupun mental. Kerusakan otak dapat terjadi bila terkena paparan secara terus menerus hal-hal negatif seperti pornografi dan narkoba. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Kepala Pusat Inteligensia Depkes Jofizal Jannis mengatakan rusaknya intelegensia itu akan semakin parah bila anak-anak terus dipertontonkan tayangan pornografi. Selain kerusakan intelegensia, anak-anak tidak akan dapat berfikir jernih. Hal ini akan menimbulkan efek negatif baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidupnya kelak.

Otak yang terpapar hal negatif secara terus menerus akan mengalami penyusutan. Penyusutan ini bisa terjadi antara lain karena kecanduan narkoba, makanan cepat saji, pornografi, dan judi. Jika otak anak sudah rusak, dia tidak dapat menetapkan batasan dan mengontrol perilakunya.

Donald Hilton dari Methodist Speciality and Transplant, San Antonio, Amerika Serikat juga mengemukakan bahwa memori emosional akan hilang sehingga orang menjadi lupa untuk berperilaku baik dan tidak bisa mengontrol diri. Otak di bagian depan yang merupakan pusat kontrol akan mengerut. Jika otak tidak mengalami kerusakan, maka kontrolnya akan normal, namun jika sudah rusak, maka mekanisme kontrolnya terhadap suatu hal negatif seperti pornografi menjadi kecil.

Mengingat maraknya berbagai kasus kejahatan yang berawal dari meningkatnya berbagai tayangan yang bertendensi pornografi, tentu saja hal ini adalah suatu kewajaran jika pemerintah berupaya untuk melindungi warganya terutama anak-anak dan wanita yang rentan menjadi korban. Tentu saja dengan tetap memperhatikan pluralitas keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia.

Demikian. terimakasih. helzanova@yahoo.com

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada.....

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

- poetry by sapardi Djoko Damono -

Sabtu, 31 Januari 2009

MY Prayer Has Been Answered

I Asked For Strenght
And God Gave me difficulties to make me strong
I Asked for Wisdom
And God Gave me Problem to Solve
I Asked for Prosperity
And God me brains to work
I Asked for Courage
And God gave me dangers to overcome
I Asked for Love
And God gave me troubled people to help
I Asked for Favours
And God gave me opportunities
I received nothing that I wanted
I received everything that I needed
MY PRAYER HAS BEEN ANSWERED

Ketika ku mohon pada Allah kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon kepada Allah kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan
Ketika kumohon pada Allah Kesejahteraan
Alloh memberiku Akal untuk berfikir
Ketika kumohon kepada Allah keberanian
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi
Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong
Ketika kumohon pada Allah bantuan
Allah memberiku kesempatan
Allah tak pernah menerima apa yang kuminta
Tapi Allah menerima segala yang kubutuhkan
Do’aku terjawab sudah

BY : NN, Ramadhan, 17,1427 Hijriah

All About True Love

All aBOut TRuE LoVe

By NN

jika ia sebuah
cinta…..
ia tidak mendengar…
namun senantiasa
bergetar….

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak buta..
namun
senantiasa melihat dan merasa..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak menyiksa..
namun senantiasa menguji..
jika ia sebuah cinta…..

ia tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..

jika ia sebuah
cinta…..
ia bisa saja tidak cantik..
namun senantiasa menarik..

jika ia
sebuah cinta…..
ia tidak datang terkadang tidak harus dengan kata-kata..
namun senantiasa
menghampiri dengan hati..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak terkadang tidak
terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar mata..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba
memenangi..

jika ia sebuah cinta…..
ia senantiasa tulus..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena ketentuan…

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan…
namun
hadir karena pengorbanan dan kesetiaan..

Rabu, 28 Januari 2009

Saat Terindah Saat Berbagi

Senyum-senyum itu melepas merekah…
Tanda suara hati terlepas sudah…
Merasakan dekapan indahnya kasih
Saat berbagi…
Saat keegoan dimentahkan..
Saat kesombongan diri dilumatkan..
Saat yang terindah disaat memberi..
dan senyum itupun terkulum rapi…
Ada damai yang kurasakan…
Maha suci ENGKAU..
KAU selalu ada Disaat KITA MAU BERBAGI…
Jkt, 30-11-08

Children By Dorothy Law Nolte

ANAK by Dorothy Law Nolte

Jika anak dibesarkan dengan celaan,Ia belajar memaki…… ….
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,Ia belajar berkelahi… …….
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,Ia belajar rendah diri…….. ..
Jika anak dibesarkan dengan dengan penghinaan,Ia belajar menyesali diri…….. ..
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,Ia belajar menahan diri…….. ..
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,Ia belajar percaya diri…….. ..
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang sebaik-baiknya,Ia belajar keadilan…. ……
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan… …….

Teks asli oleh Dorothy Law Nolte

Sabtu, 24 Januari 2009

The Meaning of GOD

THE MEANING OF GOD’S UNITY (TAWHID) WITH ITS IMPLICATIONS IN HUMAN LIFE

By : NN

The existence of God is too evident to need any arguments. Some saintly scholars even have stated that God is more manifest than any other being, but that those who lack insight cannot see Him. Others have said that He is concealed from direct perception because of the intensity of His Self-manifestation.
However, the great influence of positivist and materialist schools of thought on science and on all people of recent centuries makes it necessary to discuss this most manifest truth. As this now-prevalent “scientific” world-view reduces existence to what can be perceived directly, it blinds itself to those invisible dimensions of existence that are far vaster than the visible.
Let us reflect on one simple historical fact: Since the beginning of human life, the overwhelming majority of humanity has believed that God exists. This belief alone is enough to establish God’s Existence. Those who do not believe cannot claim to be smarter than those who do. Among past and present-day believers are innovative scientists, scholars, researchers and, most importantly, saints and Prophets, who are the experts in the field. In addition, people usually confuse the non-acceptance of something’s existence with the acceptance of its non-existence. While the former is only a negation or a rejection, the latter is a judgment that requires proof. No one has ever proven God’s non-existence, for to do so is impossible, whereas countless arguments prove His existence. This point may be clarified through the following comparison.
Suppose there is a large palace with 1,000 entrances, 999 of which are open and one which appears to be closed. No one could reasonably claim that the palace cannot be entered. Unbelievers are like those who, in order to assert that the palace cannot be entered, confine their (and others’) attention only to the door that is seemingly closed. The doors to God’s existence are open to everybody, provided that they sincerely intend to enter through them.
The most important factor leading many, especially those under the spell of materialistic science and its worldview, to fix their eyes on the apparently closed door is causality. Causality leads to the vicious chain of cause and effect, for each cause is also an effect. Moreover, the effect is totally different from the cause. All things and effects are usually so full of art and beneficial purposes that even if all causes gathered they would be unable to produce one single thing, let alone their simple immediate causes.
In order for a cause to produce an effect, it has to be able to produce the whole universe in which that effect takes place, for that effect cannot exist without the whole universe. Nor can they exist separately. Materialist scientists imagine powerless, dependent, and ignorant causes to be responsible for the existence of beings and things, and thus fancy them to possess absolute qualities. In this way they are implying (tacitly believing) that each of those causes possesses qualities that only can be attributed to God.
However, the latest discoveries of modern science, like the universe’s unity and its parts’ inseparability, exclude the possibility of all the explanations put forward by materialistic science. They demonstrate that all entities, whether in nature or in the laws and causes attributed to them, are devoid of power and knowledge. They are contingent, transient, and dependent beings. But the properties attributed to any of these entities need infinite qualities like absolute power and knowledge.
This shows that causality is by no means necessarily linked with “objective” study or “neutral” scientific investigation. It is no more than a personal opinion. Moreover, it is an opinion that is irrational and devoid of sense.
When we study the universe, we see that all beings utterly refute the false claims of materialist and atheistic reasoning through their order, mutual relationship, and duties. They affirm that they are nothing but the property and creatures of a Single Creator. Each rejects the false notions of chance and causality, ascribes all other beings to its own Creator, and proves that the Creator has no partners. Indeed, when the Creator’s Unity is known and understood correctly, it becomes clear that nothing requires that causes should possess any power. Thus they cannot be partners to the Creator, for it is impossible for them to be so.
The universe is a document for believers to use. The Qur’an informs us that believing in God is to assent with one’s heart to the Creator with all His Attributes supported by the universe’s testimony. The true affirmation of God’s Unity is a judgment, a confirmation, an assent, and an acceptance that can find its Owner present with all things. It sees in all things a path leading to its Owner, and regards nothing as an obstacle to His Presence. If this were not the case, it would be necessary to tear and cast aside the universe in order to find Him, which is impossible for us.
The universe has been made in the form of an intelligible book so as to make known its Author. The book, which addresses humanity, seeks to make humanity read the book and its parts, and respond with worship and thanks to its Author’s will. Humanity attains to that worship by uncovering the order in the Book of the Universe through scientific study and displaying the functioning of the universe’s beings and workings.
The universe is not passive or neutral. We cannot interpret it as we wish, for there is only one correct way of looking at the world, one universal world-view common to all humanity. This view is taught to us in the Qur’an as well as in the Book of the Universe by our Creator. This means that the Qur’anic world-view recognizes that the perception of the world differs relatively from one person to another. It allows for plurality within unity so that a universal dialogue is possible. This world-view contains no fragmentation or conflict, only harmony, assistance, peace, and compassion.
The materialist scientific world-view is based on radical fragmentation, for it views nature as a mechanism with no inherent value and meaning. It isolates an object by cutting off its connections with the rest of the world, and studies it within its immediate environment.
But our perception of ourselves tells us that we are meaningful and part of the whole universe, and that everything must have a meaning and be part of the universe. Materialist science has left the subject—humanity—out of the universe and, insofar as this science is taking over, people feel that they have no place in this world. Thus they are isolated and live lives without meaning, except in a very limited, egoistic sense. People are alienated from their environment and from themselves.
The universe is an inseparable whole. Indeed, the unity observed in its totality, including humanity, is so clear that no one can deny it. Thus the materialistic approach to the scientific method has to be reconsidered. This method is reductionist, for it reduces every thing to fragments and then attributes each fragment to causes. But in reality, all things are interconnected and interdependent, for it is impossible to attribute anything, however small, to causes that are themselves transient and contingent. Since whatever is responsible for one thing must be responsible for everything, we cannot have one thing without the whole.
Why can we ascribe a thing to its antecedents in time but not to its neighbors in space? Why should a thing be able to produce another thing just because it happened before? All modern scientists know that space and time are fully equivalent and unified into a four-dimensional continuum in which both “here” and “there” and “before” and “after” are relative. In this four-dimensional space, the temporal sequence is converted into a simultaneous co-existence, the side-by-side existence of all things. Thus causality appears to be an idea limited to a prejudiced experience of the world.
Causality does have some meaning. Opposites are mingled in this world: truth with falsehood, light with darkness, good with evil, white with black, and so on. Since people have ingrained inclinations toward both good and evil, they are tested in this world to determine whether they will use their free will and other faculties in the way of truth and good or otherwise
Divine Wisdom requires that the veil of causes and laws be drawn before Divine Power’s operations. If God had willed, He could train the planets with His “Hands” in a way observable by us or let visible angels administer them. Then we would not be speaking of the laws of causes involved, such as gravitation. Or, in order to communicate His Commandments, God could speak to each person directly without sending any Prophets, or could write His Name with stars in the sky in order to compel us to believe in His Existence and Oneness. But in this case, humanity’s earthly existence would not be an arena of trial that pushes us to new developments and discoveries in science and technology, thereby enabling us to remove one veil more from the meaning of existence.
Like a mirror’s two sides, existence has two aspects or dimensions: one visible and material, known as the Realm of Opposites and (in most cases) Imperfections, and the transparent, pure, and perfect spiritual realm. The material dimension must—and does—contain events and phenomena that appear disagreeable to us. Those who cannot perceive the Divine Wisdom behind all things may even criticize the Almighty for those disagreeable events and phenomena. To prevent that, God uses natural laws and causes to veil His acts. For example, so that we do not criticize God or His Angel of Death for the loss of our beloved ones or our own death, God places diseases and natural disasters (among other “agents” or “causes”) between Himself and death.
On account of this world of testing and trial’s essential imperfection, we encounter and suffer from many deficiencies and shortcomings. In absolute terms, every event and phenomenon is good and beautiful in itself or in its consequences. Whatever God does or decrees is good, beautiful, and just. Injustice, ugliness, and evil are only apparent or superficial and arise from humanity’s errors and abuses. For example, although a court may pass an unjust sentence on you, you should know that Destiny permits that judgment because of a crime that you are hiding. Whatever befalls us is usually the result of self-wronging, an evil that we ourselves have done. However, those who lack the necessary sound reasoning and judgment to understand the Divine Wisdom behind events and phenomena may impute directly to God the apparent ugliness or evil, imperfections and shortcomings, experienced in worldly life, even though God is absolutely free of any defect or imperfection.
Therefore, so that people do not ascribe any ugliness or evil to God, His Glory and Grandeur require that natural causes and laws be a veil before His acts, while belief in His Unity demands that those causes and laws should not be ascribed to any kind of creative power.
If God Almighty acted in the world directly, and not through causes and laws, we would be unable to develop scientific knowledge or live even an instant of a happy life free of fear and anxiety. We can observe and study patterns in phenomena thanks to God’s acting from behind natural causes and laws. Otherwise, each event would be a miracle. The regularity within the flux and mutability of events and phenomena makes them comprehensible to us, and so awakens within us the desire to wonder and reflect, which is a principal factor in establishing science. For the same reason, we are able to plan and arrange our future affairs to some degree. Just consider how life would be if we did not know whether the sun would rise tomorrow!
Whoever owns such attributes as beauty and perfection desires to know them and make them known. God owns absolute beauty and perfection and is independent of all things. He also owns a holy, transcendent love and thus a sacred desire to display His Beauty and Perfection. If He showed His Names and Attributes directly, without the “medium” of causes and laws, we could not endure them. He manifests them as he does and by degrees within the confines of time and space so that we can connect with them, reflect on them, and perceive them. The gradual manifestation of Divine Names and Attributes is also a reason for our curiosity and wonder about them.

Source : Muslim Community, Islam For Begginer

Senin, 05 Januari 2009

Hubungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

A. Pendahuluan
Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Kemudian Pasal 18 UUD 1945 menjelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah harus berdasarkan prinsip permusyawaratan/demokrasi. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan hukum dan demokrasi.
Sesuai dengan UUD 1945 sistem rumah tangga daerah adalah sebagai berikut (Bagir Manan; 1994 : 171-172) :
1. Harus menjamin keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah baik dalam pengaturan maupun pengurusan urusan rumah tangga daerah.
2. Pada dasarnya rumah tangga daerah bersifat asli, bukan sesuatu yang diserahkan oleh satuan pemerintahan tingkat lebih atas. Jadi, pemerintah daerahlah yang berinisiatif sendiri, bukan menunggu penyerahan dari pemerintah pusat atau pemerintah atasnya
3. Sebagai konsekuensi dari butir b diatas maka sistem rumah tangga harus member tempat bagi prakarsa dan inisiatif sendiri dari daerah-daerah untuk mengatur dan mengurus berbagai kepentingan atau hal-hal yang dianggap penting bagi daerah mereka.
4. Rakyat diberi kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala kepentingan mereka didaerah. Dengan demikian, urusan rumah tangga daerah tidak berkaitan dengan jumlah yang diserahkan pusat tapi harus sejalan dengan kepentingan masyarakat dearah sendiri.
5. Urusan rumah tangga daerah dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
6. Sistem rumah tangga daerah harus mencerminkan kekuasaan antara pusat dan daerah dalam hubungan desentralistik. Setiap bentuk campur tangan pusat atas urusan rumah tangga daerah, tidak boleh menggurangi kemandirian daerah.
7. Sistem rumah tangga daerah harus ditujukan terutama untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain isi urusan rumah tangga daerah harus terutama pada bidang pelayanan kepentingan umum.
8. Ada tempat bagi pemerintah pusat untuk mempengaruhi rumah tangga daerah demi menjamin pemerataan keadilan dan kesejahteraan sosial dan penentuan isi rumah tangga daerah yang baru. Hal ini terkait dengan fungsi pemerataan yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak mampu melakukan fungsi ini karena ruang lingkupnya hanya sebatas daerah jurisdiksinya.
Dalam Penetapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, agenda untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis disusun dalam 5 (lima) sasaran pokok, diantaranya sasaran ke-3 (tiga) yang berkaitan dengan Pemeriantahan Daerah yakni meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kepemerintahan yang baik serta terjaminnya konsitensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam rangka meningkatkan keadilan bagi daerah-daerah untuk membangun. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan diletakkan pada REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH yang diarahkan untuk :
1. memperjelas pembagian antar tingkat pemerintahan;
2. mendorong kerjasama antar pemerintah daerah;
3. menata kelembagaan pemerintahan daerah agar lebih efektif dan
efisien;
4. meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah;
5. meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah;
6. serta menata daerah otonom baru.

B. PEMBAHASAN

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya akan disingkat menjadi UU Pemda) disebutkan bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam UU Pemda perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
Pemerintahan daerah dalam Pasal 1 Bab 1 UU Pemda adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah dalam UU Pemda meliputi :
1. Gubernur
2. Bupati, atau Walikota
3. Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 2 UU Pemda dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah dalam menjalankan tugasnya :
1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
2. menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
3. memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
4. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
5. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
6. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan. Karena itu, kedaulatannya tunggal dalam arti tidak terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan di bawahnya. Meskipun demikian, dalam Negara Indonesia dibentuk Pemerintah Daerah yang menerima sebagian kewenangan dari Pemerintah. Pelimpahan wewenang administrasi dari Pemerintah Pusat kepada pejabatnya di wilayah negara atau wilayah administrasi disebut dekonsentrasi. Satuan pemerintahan daerah yang diberi limpahan kewenangan menurut asas dekonsentrasi tidak menimbulkan otonomi daerah. Sedangkan yang diberi limpahan kewenangan berdasarkan asas desentralisasi atau devolusi menimbulkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat dengan tetap menghormati peratuan perundangan yang berlaku.
Isi dan luas otonomi daerah menganut ajaran rumah tangga materiil, formal, dan riil. Ajaran rumah tangga materiil menjelaskan bahwa sejak pembetukannya isi rumah tangga telah ditentukan antara yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Ajaran rumah tangga formal menegaskan bahwa isi rumah tangga daerah ditentukan atas alasan rasional, efektifitas, dan efesiensi. Di sini pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengambil inisiatif dan prakarsa sendiri untuk menentukan isi rumah tangganya. Sedangkan ajaran rumah tangga riil menjelaskan bahwa isi rumah tangga didasarkan faktor-faktor riil yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Kebijakan desentralisasi pada tahun 1999 telah mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralistik yang memberi kewenangan luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat sesuai aspirasi dan kemampuan sumber daya miliknya.Meski demikian, harus diakui pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 telah memunculkan pandangan yang mendua terhadap pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri.Pertama, ada yang menganggap otonomi daerah akan semakin meningkatkan aktivitas penyelenggaraan pemerintah di daerah karena besarnya kewenangan yang diserahkan kepada kabupaten/kota dan otonomi terbatas kepada provinsi.Kedua, otonomi daerah justru menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas karena kewenangan yang diberikan terlalu luas dan munculnya eksklusivisme kedaerahan yang kaku. Pandangan seperti itu mungkin diilhami oleh harapan dan kekhawatiran berlebihan karena pengalaman telah membuktikan bahwa sistem sentralistik ternyata tidak kondusif bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Kewenangan Pemerintah Pusat sedikit tapi mendasar dan strategis. Sedangkan kewenangan daerah lebih besar. Daerah kabupaten/kota adalah penerima kewenangan terbesar. Sedangkan daerah provinsi menerima kewenangan yang bersifat koordinatif, pengawasan, dan pembinaan. Dasar pemikirannya adalah, kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang langsung melayani masyarakat. Oleh karena itu, bobot kewenangan harus dititik beratkan pada unit pemerintahan ini, bukan pada provinsi. Provinsi diberi kewenangan koordinasi antar kabupaten/kota yang berada di bawah koordinasinya. Disamping itu, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur juga diberi kewenangan pengawasan dan pembinaan terhadap kabupaten/kota.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah provinsi menganut asas dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Berdasarkan asas dekonsentrasi maka provinsi merupakan wilayah administrasi. Berdasarkan asas desentralisasi maka provinsi menjadi daerah otonom. Implikasi struktural dari diterapkannya asas dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi membuat provinsi menjadi administrasi sekaligus daerah otonom.
Sebagai wilayah administrasi, provinsi menerima kebijakan politik dari pemerintah pusat. Kebijakan tersebut dilaksanakan oleh Gubernur sebagai kepala wilayah administrasi. Disini gubernur sebagai Kepala wilayah administrasi. Disini Gubernur bertindak atas nama pemerintah pusat, bukan atas nama kepala daerah otonom. Dalam hubungannya dengan Pemerintah Kabupaten/Kota menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat terhadap daerah kabupaten/kota :
1. Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan,sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan,dan penggendalian.
2. Fasilitas kerjasamam dan penyelesaian perselisihan antar Daerah dalam wilayah kerjanya
3. Pelantikan Bupati/Walikota.
4. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah dengan daerah otonom wilayahnya dalam rangka memelihara dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Pengkoordinasian terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik, bersih, dan bertanggung jawab, baik yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun Badan Legislatif Daerah.
6. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
7. Pengawasan refresif terhadap Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Keputusan DPRD, serta Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota
8. Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam hal provinsi sebagai daerah otonom maka pemerintah kabupaten/kota bukanlah bawahan provinsi. Tapi dalam hal provinsi sebagai dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi maka pemerintah kabupaten.kota adalah bawahannya, pemerintah kabupaten/kota merupakan subordinat wilayah administrasi provinsi. Dalam hal ini provinsi sebagai daerah otonom, maka pemerintah kabupaten/kota adalah sesama daerah otonom. Hubungan provinsi dengan kabupaten/kota adalah sesame daerah otonom adalah hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan hirarki antara atasan dan bawahan seperti aturan sebelumnya (UU Nomor 5 tahun1974).
Sebagaimana halnya provinsi, kabupaten/kota juga menerima tugas pembantuan dari pemerintah atasnya yaitu pemerintah pusat dan provinsi (sebagai daerah otonom). Tugas pembantuan yang diberikan pemerintah kepada kabupaten/kota meliputi sebagian tugas bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, dan kewenangan lain yakni kebijakan tentang perencanaan nasional dan penggendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Sedangkan tugas pembantuan yang diberikan provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota meliputi sebagian tugas dalam bidang pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Adapun tugas pembantuan yang diberikan provinsi sebagai wilayah administrasi kepada kabupaten/kota mencakup sebagian tugas dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Jadi tugas pembantuan yang diberikan kepada Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang merupakan kompetensi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi baik sebagai daerah otonom maupun administrasi.
Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah atau sering disebutkan sebagai undang-undang otonomi daerah (UU Otda) yang telah direvisi dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dari kedua UU tersebut, yang tidak mengalami perubahan secara signifikan adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kini dilaksanakan secara langsung dipilih rakyat. Pilkada itu untuk gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya serta walikota dan wakilnya. Berbeda dengan sebelumnya, pemilihan kepala daerah itu dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) setempat. UU Pemerintahan Daerah ini memang menimbulkan hubungan yang tidak begitu erat antara pusat, provinsi dan kabupaten / kota sebagai akibat kepala daerah yang dipilih langsung rakyat. Misalnya Gubernur bukanlah atasan langsung bupati dan walikota. Hubungan kepala daerah ini bersifat koordinatif. Tak ada garis tegas dalam alur komando antara pusat, provinsi dan kabupaten / kota.