Rabu, 28 Oktober 2009

KAU teman terbaikku......

Allah..Tuhanku...
Engkau ada disini
Selalu dalam hatiku..
Teman terbaik dalam setiap langkahku...
Teman terbaikku..

Ketika semua menjauh..
Kau tak pernah menjauh..

Ketika semua mencampakkanku
Kau yang mengangkatku

Kau yang selalu menyapa dan kusapa...

Allah...
Kau indah sekali..
Kau maha baik sekali..
Maha diatas Maha...

Kau sapa aku lewat indahnya kalamMU...
Lewat hijaunya pepohonan..
Lewat sejuknya air sungai yang mengalir...
Lewat birunya langit....
Lewatnya sejuknya semilir angin...

Ya Rabb ku
Jangan pernah lepaskan aku dari genggamanMU...
Aku membutuhkanMU...selalu

Bandung, 29 Okt 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

kehadiranNYA.....

Tuhan ada dan hadir untuk semua
Dia bukan ekslusif kepunyaan mereka yang ada dilembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama semata
Dia menyapa kita dalam setiap detik dan denyut kehidupan…
Tak peduli dimanapun kita berada…dibelantara dunia yang jauh dari kehidupan agamapun Dia ada disana……

Kedekatan hamba kepada Tuhan tak dapat dinilai hanya dengan symbol dan baju belaka….
Karena Tuhan begitu dekat dengan kita...bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri....
Mereka yang hidup bersama Tuhan tidak berarti harus menjauh dari dunia.....
Satunya kata dan perbuatan....adalah salah satu bukti betapa akrabnya dia dengan Tuhan...
Kehadirannya begitu menyejukan...
Tak ada yang tersakiti dengan kata-kata dan canda yang keluar dari lidahnya....
Hadirnya rahmat buat sekelilingnya.....

Terkadang kita terjebak oleh simbol-simbol semata
Mengatasnamakan agama....
Namun ucap, kata, dan sikapnya kadang menjengkelkan....
Tak membawa angin kesejukan dan kedamaian...
Dimana makna kasih sayang yang sesungguhnya.....

Banyak orang mengatakan agama itu rakhmat
Namun sikap dan perbuatannya tidak membawa rahmat...
Smoga sikap dan perbuatan kita senantiasa memberikan rahmat dan kebaikan dimanapun kita berada
Biarlah orang menyadari kebaikan agama dari sikap dan perbuatan kita yang menyejukkan........

Jkt, 25 Okt 2009

Rabu, 21 Oktober 2009

Tanggapan Permohonan Pengujian Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhad

Helza Nova Lita

Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK), karena ketentuan tersebut secara khusus menurut Pemohon telah merugikan hak konstusionalnya yang sebagai perorangan warga negara yang merupakan hak asasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2).

Pasal 15 ayat (3) :

”Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara”

Menurut Pemohon dengan adanya kalimat terakhir dan dari rumusan Pasal 15 ayat (3) UUK diatas, dapat dipastikan para pemohon tidak mungkin dapat menangani perkara kepailitan lagi, walaupun Pemohon sudah membuat surat pernyataan tentang Penanganan Kasus Kepailitan, semata-mata karena para pemohon sudah menanggani perkara kepailitan lebih dari 3 (tiga). Selanjutnya menurut Pemohon bahwa ketentuan tersebut telah membatasi hak konstitusional para pemohon untuk memperoleh hak atas kesamaan kedudukan di depan hukum, dalam hal ini hak konstitusional para pemohon untuk menjadi kurator; dalam waktu bersamaan, ketentuan tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945, yakni hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; karena itu sesuai ketentuan UUD 1945 para pemohon harus diberikan hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif yang ditimbulkan oleh kalimat terakhir dari Pasal 15 ayat (3) UUK.

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUK bahwa Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Yang dimaksud dengan Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dalam penjelasan Pasal 15 Ayat(3) UUK disebutkan adalah bahwa kelangsungan keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitor atau Kreditor, dan Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis Debitor atau Kreditor.

Dalam ketentuan Penjelasan UUK menyebutkan beberapa asas yang dijadikan dasar dalam Bertitik Undang-Undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Asas-asas tersebut antara lain adalah Asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha,asas keadilan, dan asas integrasi.

Berkaitan dengan ketentuan Dalam Pasal 15 ayat (3) UUK mengandung makna adanya penerapan asas Keseimbangan, yaitu sebagaimana dalam penjelasan UUK dinyatakan bahwa asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Disamping itu juga untuk menjamin dilaksanakannkan asas keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Disamping bahwa asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
Dalam Penjelasan UUK disebutkan bahwa Kurator seringkali dihubungkan dengan Kepailitan. Pasal 1 angka 1 UUK mendefinisikan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Kurator menurut Pasal 1 angka 5 UUK tentang Kepailitan adalah Balai Harta Peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Sejak putusan pernyataan pailit dinyatakan Pengadilan Niaga maka debitur (debitur pailit) secara hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus seluruh hartanya (harta pailit) yang mencakup semua harta debitur yang ada saat itu dan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali harta yang bukan bagian dari harta debitur namun berada dalam penguasaannya. Debitur tidak dapat lagi menjual, menghibahkan, menggadaikan atau mengagunkan hartanya. Kewenangan mengurus dan membereskan harta pailit karena hukum menjadi kewenangan Kurator. Sehingga tugas dari Kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.
.Pembatasan yang diberikan terhadap Pasal 15 ayat (3) UUK tidak bertujuan untuk membatasi dan mengurangi hak dari kurator sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini berkaitan agar Kurator dapat lebih profesional, dan lebih berhati-hati serta fokus dalam melakukan tugasnya. Hal ini juga berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan tugas berat bagi kurator, sehingga harus didukung oleh kemampuan individual dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kurator harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, bersifat netral dan dapat dipercaya oleh semua pihak yang berkepentingan. Hal ini juga berkaitan dengan tanggung jawab yang juga dibebankan kepada Kurator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 72 UUK yang menyebutkan ”Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”.

Bentuk tanggungjawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain dilakukan melalui penyampaian laporan-laporan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 UUK, dimana dalam Pasal tersebut mengharuskan Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. Laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Peranan Kurator sebagaimana yang diatur dalam UUK oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi bagian pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Diharapkan pula bahwa kurator dapat bersifat lebih teliti dan hati-hati untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya atau juga kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor yang berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor.

Jumat, 16 Oktober 2009

Persyaratan Calon Anggota Legislatif

Era reformasi menuntut adanya pemerintahan yang baik dengan aparat yang baik pula. Era reformasi timbul dari adanya gerakan moralis dan sekaligus merupakan gerakan politik yang mempunyai konsep politik untuk melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan, dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan tujuan negara, seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Konsep politik gerakan reformasi ini mendapat dukungan yang luas pula dari publik. Gerakan reformasi ini menuntut adanya pemerintah yang baik dan untuk adanya pemerintah yang baik harus ada aparat pemerintah yang baik pula 1.

Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik 2.

Berkaitan dengan landasan teori dari perilaku aparat pemerintah dalam karya tulis buku Richar Beckhard ”Pengembangan Organisasi, Strategi, dan Model”, dikemukakan teori yang dirumuskan sebagai berikut ”Behaviour is a function of person and environment” yang artinya bahwa tingkah laku individu adalah fungsi dari, atau hasil kerja, atau sangat ditentukan oleh pribadi orangnya dan lingkungan yang dihadapinya. Pribadi seseorang dapat menentukan tingkah lakunya oleh sebab pengalaman seseorang, minat kepentingan ataupun bakat seseorang akan menentukan cara persepsi seseorang terhadap lingkungannya. Jadi berdasarkan teori tersebut, apabila kita menghendaki perilaku aparat pemerintah yang baik, yang tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka pribadi, yaitu pengalaman, bakat, dan minat kepentingan aparat pemerintah harus baik, kemudian lingkungan kerjanya juga harus baik 3 .

Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta sosial menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfkat nyata dari reformasi politik 1998. Dalam aspek politik dan hukum, reformasi birokrasi menjadi issue penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah bukan hanya di isi oleh para birokrat karier tertapi juga pejabat politik. Menurut teori liberal, bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Dengan demikian birokrasi pemerintah itu bukan hanya di isi oleh para birokrat, melainkan ada bagian bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier profesional.

kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interest. The political leadership bases its daim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some nation of the public interest. Supremasi mandat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakuakan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford, 1969).

Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi, menjadikan masalah baru, yaitu menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala inefisiensi, profesionalitas dan tidak jarang menjadi "sapi perahan" para politisi, demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Ada 3 (tiga) komponen yang menentukan untuk melahirkan tata pemeritahan yang baik, yakni pemerintah, swasta, dan rakyat. Disamping itu satu komponen yang amat menentukan, yaitu moral. Selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang seksama dalam pemerintah. Moral harus menjadi landasan bagi semua komponen untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik.

Moral merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi. Moral masing-masing pelaku akan berperan besar sekali dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Untuk pejabat-pejabat pemerintah, maka pertimbangan utama bagi setiap seleksi dan promosi pejabat birokrasi pemerintah harus didasarkan pada pertimbangan catatan moral mereka. Catatan moral ini harus ada di berkas (file) setiap pejabat dan pegawai pemerintah. Catatan ini diperoleh dari sikap, perilaku, dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing pejabat. Sebelum diangkat dalam posisi jabatan tertentu, maka pemerintah berkewajiban mengumumkan calon-calon tersebut kepada masyarakat.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir karena adanya keinginan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap tindakan administrasi Negara. Kebebasan administrasi Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum juga disebabkan karena tidak adanya hukum tertulis yang menjadi acuan bagi administrasi Negara untuk bertindak. Selain itu, seringkali wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan adalah samara-samar/tidak jelas atau dengan kata-kata yang sangat umum.Perlindungan hukum harus diberikan kepada kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan administrasi negara. Sarana perlindungan dari segi hukum tidak tertulis disebut sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (General Principles of Good Goverment).

HAN dan hukum pidana sama-sama terletak dalam bidang hukum publik, hukum pidana berfungsi sebagai hukum pembantu bagi HAN, artinya setiap peraturan perundang-undangan dalam HAN selalu disertai dengan sanksi pidana agar ditaati oleh masyarakat. Selain itu, peraturan perundang-undangan di bidang administrasi seperti UU Korupsi dan UU Subversi dapat dimasukkan ke dalam bidang hukum pidana.

Ilmu hukum secara garis besar membagi hukum ke dalam dua golongan, yaitu hukum privat (sipil) dan hukum public. Penggolongan ini berdasarkan isi dan sifat hubungan yang diatur. Hubungan tersebut bersumber pada kepentingan yang hendak dilindungi, adakalanya kepentingan tersebut bersifat perorangan (individu), namun adakalanya bersifat umum (publik).

Perbedaan antara hukum publik dan hukum privat telah ada sejak zaman Romawi. Ulpianus adalah orang pertama yang membedakan antara hukum yang berhubungan dengan kepentingan negara Romawi dengan hukum yang mengatur kepentingan orang perorangan.

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya yang di dalamnya termasuk Hukum Pidana, HTN dan Hukum Tata Pemerintahan (HAN). Secara historik, awalnya, HAN merupakan bagian dari HTN tetapi karena perkembangan masyarakat dan adanya tuntutan munculnya kaidah-kaidah hukum baru dalam studi HAN maka lama kelamaan HAN menjadi lapangan studi tersendiri, terpisah dari HTN.

Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu mata pelajaran dalam Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Administrasi. Dalam studi hukum, HAN merupakan salah satu cabang dari ilmu hukum. Sedangkan dalam Ilmu Administrasi HAN merupakan bahasan khusus tentang salah satu aspek (aspek hukum) dari Administrasi Negara. Di PBB dan dunia internasional, HAN dikelompokkan dalam ilmu-ilmu hukum dan ilmu adiministrasi.

Hukum administrasi terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak swasta tetapi kepada penguasa atau pemerintah. Diantara hukum privat dan hukum pidana terdapat hukum administrasi sehingga hukum administrasi disebut juga “hukum antara”. Misalnya dalam memberikan izin bangunan pemerintah harus memperhatikan segi-segi keamanan dari gedung yang direncanakan. Untuk itu pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan dan para pihak yang tidak mematuhi ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi pidana.

Dalam hukum pidana, sanksi pidana berlaku terhadap seseorang sejak dinyatakan sebagai tersangka sampai dengan dinyatakan sebagai terpidana dan berakhir atau selesai setelah terpidana menjalani sanksi pidana yang dijatuhkan hakim. Bahwa seseorang yang telah melaksanakan atau menjalani sanksi pidana menurut doktrin hukum pidana telah menjadi orang biasa dan dipulihkan hak-hak hukumnya seperti semula (sebelum menjadi terpidana), kecuali hakim menetapkan lain melalui penjatuhan pidana tambahan.

Wass. Thank's for reading. helzanova@yahoo.com


Catatan sumber-sumber referensi :

1.Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya BAndung, 2001, hlm. 27.

2. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 151.

3. Ibid

Uji Materiil UU Pornografi

Tanggapan Uji Materiil Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21,dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945


Oleh : Helza Nova Lita, SH, MH


Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi :
”Pornografi adalah gambar, skesta, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Pasal 4 ayat (1) :
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, meyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin;
f. pornografi.

Pasal 20 :
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21 :
(1) Peran serta masyarakat sebagamana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara :
a. melaporkan pelanggaran undang-undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 :

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal-pasal tersebut diatas menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28 A, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 I Ayat (3), Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 28 A UUD 1945 :

”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 :

“(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak memajukan dirinya memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 :

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945 :

”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan menggembangkan nilai-nilai budayanya”

Bahwa untuk memahami UU Pornografi perlu membaca pasal-pasal secara komperhensif yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga dengan demikian penafsirannya tidak bersifat parsial pada ketentuan pasal tertentu saja.

Pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa definisi ”pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi berakibat tidak adanya kepastian hukum, karena konsep kesusilaan antar daerah/suku berbeda-beda, tidak beralasan secara yuridis. UU Pornografi tidak bertujuan mengekang keberagaman budaya dan konsep kesusilaan antar daerah/suku yang berbeda. Salah satu tujuan UU Pornograi justru untuk menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 3 UU Pornografi yang berbunyi sebagai berikut

”Undang-undang ini bertujuan :
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusian;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan;
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat”.

Bahwa adanya alasan pemohon bahwa UU Pornografi ini akan mengubah konsep kebhinekaan dan mengancam persatuan dan kesatuan di Indonesia pun tidak beralasan secara yuridis dan terlalu berlebihan. Justru UU Pornografi ini pengaturannya juga disesuaikan dengan konsep kebhinekaan yang ada di Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pornografi sebagai berikut :

“ Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”.

Selanjutnya alasan pemohon yang menyebutkan bahwa para pekerja seni tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan mengesankan ketelanjangan yang berupa lukisan, ukiran,pahatan, patung-patung serta kerajinan khas lainnya dapat dianggap melanggar batasan pornografi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pornografi. Ketentuan ini juga perlu dihubungkan kembali dengan penafsiran yang bersifat komperhensif dari pasal-pasal lainya dalam UU Pornografi seperti pada Pasal 2 mengenai asas pengaturan pornografi, Pasal 3 mengenai tujuan undang-undang pornografi, Pasal 15 dan Pasal 16 mengenai Perlindungan anak, Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 tentang Pencegahan.

Tentu saja UU Pornografi tidak bertendensi untuk mematikan potensi pencarian nafkah para pekerja seni sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan undang-undang pornografi yang tercantum dalam Pasal 3. Penjualan benda-benda seni tersebut sepanjang memang merupakan ciri khas seni dan budaya daerah yang bersangkutan maka hal ini tentu bukan merupakan ketentuan yang dilarang oleh UU Pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, yaitu bahwa salah satu tujuan undang-undang pornografi adalah menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dengan adanya UU Pornografi ini justru melindungi budaya bangsa Indonesia yang plural namun tidak disalahgunakan untuk tujuan pornografi yang bertendensi pada komersialisasi seks dimasyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf e, bahwa salah satu tujuan UU Pornografi adalah untuk mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Berdasarkan keterangan diatas, tidak ada pertentangan antara UU Pornografi dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Perlu disadari bahwa munculnya UU Pornografi ini juga berkaitan dengan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi warga negaranya terutama para anak-anak dan perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 huruf d dari akibat berbagai kegiatan yang bertendensi pornografi yang merusak. Demikian pula fakta kenyataan yang terjadi di masyarakat begitu maraknya aksi kejahatan yang ditimbulkan akibat tayangan-tayangan dan informasi yang bermuatan pornografi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Staf Ahli Menkes Bidang Kesehatan dan Globalisasi Ratna Rosita dalam Harian Koran Jakarta, tanggal 03 Maret 2009, bahwa maraknya informasi tentang pornografi memicu kekerasan seksual yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) baik fisik maupun mental. Kerusakan otak dapat terjadi bila terkena paparan secara terus menerus hal-hal negatif seperti pornografi dan narkoba. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Kepala Pusat Inteligensia Depkes Jofizal Jannis mengatakan rusaknya intelegensia itu akan semakin parah bila anak-anak terus dipertontonkan tayangan pornografi. Selain kerusakan intelegensia, anak-anak tidak akan dapat berfikir jernih. Hal ini akan menimbulkan efek negatif baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidupnya kelak.

Otak yang terpapar hal negatif secara terus menerus akan mengalami penyusutan. Penyusutan ini bisa terjadi antara lain karena kecanduan narkoba, makanan cepat saji, pornografi, dan judi. Jika otak anak sudah rusak, dia tidak dapat menetapkan batasan dan mengontrol perilakunya.

Donald Hilton dari Methodist Speciality and Transplant, San Antonio, Amerika Serikat juga mengemukakan bahwa memori emosional akan hilang sehingga orang menjadi lupa untuk berperilaku baik dan tidak bisa mengontrol diri. Otak di bagian depan yang merupakan pusat kontrol akan mengerut. Jika otak tidak mengalami kerusakan, maka kontrolnya akan normal, namun jika sudah rusak, maka mekanisme kontrolnya terhadap suatu hal negatif seperti pornografi menjadi kecil.

Mengingat maraknya berbagai kasus kejahatan yang berawal dari meningkatnya berbagai tayangan yang bertendensi pornografi, tentu saja hal ini adalah suatu kewajaran jika pemerintah berupaya untuk melindungi warganya terutama anak-anak dan wanita yang rentan menjadi korban. Tentu saja dengan tetap memperhatikan pluralitas keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia.

Demikian. terimakasih. helzanova@yahoo.com

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada.....

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

- poetry by sapardi Djoko Damono -