Selasa, 13 Mei 2008

PERSENGKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA T

PERSENGKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Oleh : Helza Nova Lita,MH

Abstrak

Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat. persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam praktek bisnis yang diatur dalam undang-undang antimonopoli. Persengkongkolan atau konspirasi dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Pada hakikatnya persaingan usaha yang tidak sehat yang akan mematikan potensi pasar dan kesempatan berusaha bagi berbagai lapisan masyarakat merupakan suatu bentuk kejahatan ekonomi. Dalam aktivitas perekonomian, semua pihak harus diberi kesempatan yang sama sesuai dengan usaha dan kontribusi yang adil dalam melakukan aktivitas tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945.

A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi di Indonesia, selama beberapa dekade belakangan ini telah mencatat banyak kemajuan yang cukup berarti. Kemajuan ini didukung dan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan hukum yang dikeluarkan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup, juga perlu adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi yang telah diperoleh tersebut secara menyeluruh dalam segenap lapisan masyarakat. Hal ini harus diupayakan agar tidak terjadi ketimpangan dan kecemburuan sosial di masyarakat[1]. Oleh karenanya, dalam melakukan kegiatan perekonomian harus diciptakan hubungan yang harmonis antara berbagai pihak yang terlibat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengusaha, pengusaha, maupun masyarakat sebagai konsumen. Kegiatan usaha yang dilakukan dengan cara fair, jujur, bertanggungjawab, serta memperhatikan aturan-aturan etika bisnis dapat menghindarkan adanya praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
Persaingan dunia usaha yang sehat akan menumbuhkan iklim ekonomi yang kondusif. Hanya dalam lingkungan persaingan ekonomi yang sehat yang dapat memberikan kemajuan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Pada umumnya Negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat sangat memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan perekonomian Negara yang bersangkutan. Disamping itu persaingan dunia usaha yang sehat tidak hanya memberikan kontribusi bagi kemajuan perekonomian negara, tetapi juga mendidik mental semua pihak yang terlibat dalam dunia usaha untuk jujur, kreatif, dan bertanggung jawab. Tentu sumber daya manusia yang demikian sangat mendukung bagi kemajuan suatu bangsa.
Persaingan dalam dunia usaha merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Persaingan dapat dibedakan atas persaingan sehat (fair competition) dan persaingan tidak sehat (unfair competition). Persaingan usaha yang tidak sehat pada akhirnya akan mematikan persaingan dan dapat menimbulkan monopoli. Monopolitik dibidang ekonomi ini sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, karena mematikan jalannya mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif, yang pada akhirnya akan dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis2.

B. PEMBAHASAN
1. Dasar Hukum Pembangunan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat di Indonesia
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya3.
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu4.
Didalam Pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan antara lain :
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan :
a. Menggembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.
b. Mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan kepentingan social dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar (Gutmann, 1991 ; Stockman; 1994).
Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi Negara. Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk – bentuk kejahatan bisnis tersebut.
Lahirnya UU Anti monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah RI untuk menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari undang-undang antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persengkongkolan bisnis. Bagaimanapun jug ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif DPR untuk memiliki UU Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoly disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka5.
2. Bentuk-Bentuk Larangan Usaha menurut UU Antimonopoli
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha. Dalam Black’s Law Dictionary, Monopoli diartikan sebagai
“a privilege or peculiar advantange vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of whole supply of a particular commodity”6.

Dalam undang-undang antimonopoli, monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha.
Selain dari definisi monopoli dalam undang-undang juga diberikan pengertian praktek dari monopoli , yaitu :
“Pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.

Dari definisi yang diberikan diatas diketahui unsur-unsur praktek monopoli ini yaitu :7
adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;
pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; dan
pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah :
“penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan atas satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa”; dan “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”.


Lahirnya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat atau sering disebut dengan undang-undang antimonopoli diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat. Pada hakikatnya persaingan usaha yang tidak sehat yang akan mematikan potensi pasar dan kesempatan berusaha bagi berbagai lapisan masyarakat merupakan suatu bentuk kejahatan ekonomi. Dalam aktivitas perekonomian, semua pihak harus diberi kesempatan yang sama sesuai dengan usaha dan kontribusi yang adil dalam melakukan aktivitas tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945.
Kegiatan lain yang dilarang dalam berdasarkan undang-undang antimonopoli meliputi :
Monopoli; dalam Pasal 17 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Monopsoni; dalam Pasal 18 Ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Penguasaan Pasar; dalam Pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a). menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b). menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c) membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d). melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Predatory Pricing; dalam Pasal 20 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi aatau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Penetapan Biaya; dalam Pasal 21 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
6. Persekongkolan (Conspiracy to arrange); dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
7. Perolehan rahasia perusahaan; dalam Pasal 23 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
8. Penghambatan produksi dan pemasaran pesaing; dalam Pasal 24 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Selain kegiatan yang dilarang diatas, dalam undang-undang anti monopoli juga mengatur mengenai perjanjian yang dilarang yang meliputi :
Oligopoli
Penetapan harga
Diskriminasi Harga
Predatory Pricing
Resale Price Maitenance
Pembagian wilayah
Pemboikotan
Kartel
Trust
Oligopsoni
Integrasi Vertikal
Perjanjian tertutup dan Tying
Perjanjian dengan pihak luar negeri yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk larangan dalam praktek bisnis yang diatur dalam undang-undang antimonopoli Persengkongkolan atau konspirasi dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang antimonopoli adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Namun demikian, dalam praktek tidak dapat dipungkiri masih banyaknya pelanggaran yang berkaitan dengan persaingan usaha yang tidak sehat. Seperti kasus persenkongkolan untuk memenangkan proyek tender yang melibatkan baik perusahaan BUMN maupun swasta. Salah satu contoh kasus persengkongkolan yang dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus persenkongkolan terhadap tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang merugikan Negara dan Peserta tender yang lain. Sehingga dengan demikian dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan bisnis. Persengkongkolan tersebut juga disinyalir bekerjasama dengan BPPN, Untuk itu KPPU merekomendasikan kepada Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN. KPPU juga memutuskan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP dilarang mengikuti segala transaksi yang terkait dengan BPPN selama dua tahun. Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan adanya penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
UU Antimonopoli mengatur pula larangan penyalahgunaan posisi dominan, jabatan rangkap, konsentrasi pemilikan saham, serta larangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Berkaitan dengan jabatan rangkap yang dilarang dalam undang-undang antimonopoli, bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut :
berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
secara bersama-sama dapat menguasai pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono,S.H., dalam bukunya yang berjudul “Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional” , berkaitan dengan praktek bisnis yang tidak sehat, menjelaskan bahwa bukan hanya praktek-praktek persaingan usaha saja yang perlu dilarang, akan tetapi termasuk klausula dalam kontrak yang secara nyata menyebabkan timbulnya keuntungan yang tidak wajar atau tidak sebanding dengan besarnya pada satu pihak, sementara pihak yang lain pada saat yang sama semakin terdesak kedudukan ekonominya. Selanjutnya beliau menjelaskan kontrak-kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dapat dikualifikasikan contracts in restraint of trade : 10
1. Price Fixing Contracts : adalah kontrak tentang penetapan harga yang dilakukan oleh para pengusaha yang bersaing yang berisi penetapan harga jual suatu barang/produk. Tujuan dari kontrak ini adalah untuk menghilangkan salah satu bentuk persaingan usaha.
2. Division of Markets : adalah suatu persetujuan diantara para pengusaha untuk membagi wilayah pemasaran menjadi bagian mereka masing-masing, lengkap dengan hak-hak istimewa atau eksklusif untuk pemasaran produk mereka.
3. Tying in atau Tie in Contract : adalah suatu kontrak dagang yang berisi ketentuan bahwa penjual akan menjual suatu barang kepada pembeli, jika pembeli juga membeli barang dari penjual yang sama. Barang tersebut biasanya saling dikaitkan satu dengan yang lain.
4. Exclusive Contracts : dalam system hukum “common law”, yang dimaksud dengan exclusive contract adalah suatu kontrak dalam hal mana saja satu pihak setuju untuk mengikat dirinya dengan suatu kewajiban untuk menjual atau membeli barang untuk semua kebutuhannya hanya dari satu orang tertentu saja.
5. Group Boycotts : adalah persekongkolan antara beberapa perusahaan untuk secara bersama-sama menolak menjalin hubungan dagang dengan satu atau beberapa perusahaan tertentu, dengan maksud untuk menghilangkan persaingan yang ditimbulkan oleh perusahaan yang bersekongkol atau untuk membatasi kegiatan bisnis dari pihak ketiga itu.
6. Monopolization and Intent to Monopolize : merupakan suatu “ combine or conspire to acquire or maintain power to exclude competitors from any part of trade of commerce, provided they also have such power that they are able, as agroup, to exclude actual or potential competition and provided that they have intent and purpose to exercise that power (Black, Henry Campbell, 1979 ; Donnel, Barnes, Metzger, 1980).
7. Merger : adalah suatu usaha peleburan dari suatu perusahaan ke dalam perusahaan lain dimana perusahaan satu perusahaan tetap mempertahankan identitasnya semula, melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab dan kuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut yang tidak lagi menjadi satu badan usaha yang mandiri.
8. Price Discrimination : yaitu pembeli harus membayar harga yang berbeda dibandingkan dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang yang sama. Kebijakan Price Discrimination yang dilakukan pengusaha biasanya bertujuan untuk mengalahkan saingannya sehingga praktek ini jelas dapat menganggu mekanisme pasar.
9. Interlocking Directorate : yaitu apabila dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang sama.
10. Unfair Labor Practices : yaitu tindakan yang tidak layak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja yang mereka gunakan, misalnya tindakan diskriminasi, ancaman dan tekanan, larangan pembentukan serikat buruh, dan sebagainya.
Dalam Pasal 50 undang-undang anti monopoli memuat kegiatan yang dikecualikan sebagai berikut :
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelekktual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian eelektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa tidak mengekang, dan atau menghalangi persaingan; atau
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia; atau
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak menganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
kegiatan usaha koperasi yang khusus bertujuan untuk melayani kebutuhan anggotanya.
Prinsip moral seperti kebenaran, kebaikan dan keadilan yang menjadi panutan individu sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dari sikap tindak. Seperti hukum, etika menjadi standar tingkah laku individu, namun etika tidak ditegakan dan dipaksakan oleh kekuasaan luar seperti pemerintah atau negara. Standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu yang bersangkutan8.
Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan disamping aspek hukum juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Namun demikian walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, terkadang menemui kesulitan dalam prosedur penerapan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Semua keputusan bisnis yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan yang mempengaruhi orang banyak, organisasi, dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menimbulkan masalah etika yang serius9.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran pelaksananaan ketentuan undang-undang antimonopoly secara garis besar meliputi :10
Sanksi administrasi (Pasal 47 Ayat (2) )
Sanksi Pidana pokok (Pasal 48 ); dan
Sanksi Pidana Tambahan (Pasal 49)
Sanksi administrasi dalam Pasal 47 Ayat (2), antara lain dapat berupa
pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk menghantikan integrasi vertical, menghentikan kegiatan usaha, pembayaran ganti rugi dan denda sebesar-besarnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) dan serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).
Sementara itu untuk sanksi pidana pokok meliputi pidana denda dan atau pengganti denda pidana kurungan. Sementara itu sanksi pidana tambahan dapat meliputi :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
4. Kasus Persengkongkolan
Terhadap Tender Penjualan Saham PT. Indomobil
Hasil pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk menyimpulkan telah terjadi persenkongkolan dalam pelaksanaan tender yang merugikan negara, dengan melibatkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk itu, KPPU merekomendasikan kepada Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung untuk memeriksa BPPN.
KPPU memutuskan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) sebagai pemenang tender harus membayar ganti rugi sebesar Rp 228 milyar dan denda Rp 5 milyar. Selain itu, PT CSDP dilarang mengikuti segala transaksi yang terkait dengan BPPN selama dua tahun. Kewajiban membayar denda Rp 10,5 milyar itu dijatuhkan secara bersama-sama kepada pengusaha Pranata Hajadi (bos PT Lautan Luas, anggota Konsorsium CSDP) dan Jimmy Masrin (juga dari PT CSDP), PT Holdiko Perkasa (perusahaan induk yang menampung aset-aset eks Grup Salim) Rp 5 milyar, PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) Rp 1,5 milyar, dan PT Bhakti Asset Management (BAM) Rp 1 milyar.
Menurut KPPU, persekongkolan dalam pelaksanaan tender telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sehingga dapat dikenai sanksi pembatalan. Dari pemeriksaan terhadap 170 surat dan dokumen, serta saksi-saksi, ditemukan adanya penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP. Dokumen tender yang mirip tersebut adalah cover letter dan usulan mark up CSPLTA.
Penyesuaian dokumen tender oleh dua dari tiga peserta tender, yaitu PT Alfa Sekuritas dan PT CSDP untuk memenangkan CSDP itu, dimungkinkan karena peranan Pranata Hajadi yang menjadi anggota Konsorsium Alfa Sekuritas (sebagai pesaing CSDP dalam proses tender-Red), dan kemudian belakangan diketahui ternyata berpindah menjadi anggota Konsorsium CSDP waktu CSDP menang. Selain kemiripan dalam pembuatan dokumen tender, KPPU juga menemukan kesamaan perilaku peserta tender, yaitu antara BAM, ASI, dan CSDP. Ketiganya mengajukan ditiadakannya bid deposit (jaminan penawaran), material threshold, serta tidak menyebutkan keanggotaan konsorsium.
Peran Holdiko dan BPPN sebagai penjual, dan DTT sebagai konsultan BPPN dalam penjualan saham Indomobil, dalam persekongkolan adalah dengan menolerir terjadinya pelanggaran prosedur oleh peserta tender. Toleransi ini dilakukan dengan tetap memproses keikutsertaan ketiga peserta tender, meskipun ketiganya tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan. Ketiganya tidak memberikan warranty letter (surat jaminan), tidak menyebutkan identitas konsorsium, dan tidak membayar bid deposit melalui rekening PT Holdiko Perkasa di Citibank.
BPPN dan Holdiko tetap menerima penyerahan dokumen final bid (penawaran akhir) dari CSDP, meskipun penyerahannya melebihi batas waktu yang telah ditetapkan, dan menerima CSDP sebagai pemenang meskipun mengetahui telah terjadi perubahan total pemegang saham CSDP berikut komisaris dan direksinya. Padahal, sesuai ketentuan tidak diperbolehkan ada perubahan apa pun selama 60 hari terhitung sejak batas akhir waktu penawaran tanggal 4 Desember 2002. BPPN juga tetap menerima BAM sebagai peserta tender. Padahal, BAM baru menandatangani Confidentiality Agreement tanggal 3 Desember 2001, sementara batas waktu penawaran tanggal 4 Desember 2001.
Sementara peranan Trimegah adalah membantu CSDP mendapatkan Info Memo, prosedur pengajuan penawaran, draf CSPLTA kepada PT CSDP. Seharusnya CSDP tidak berhak mendapatkannya, karena tidak menandatangani Confidentiality Agreement. Tidak hanya itu, Trimegah juga memberi kemudahan kepada Pranata Hajadi, yang sebelumnya menjadi investor tunggal ASI, untuk menjadi investor CSDP, sebelum CSDP dinyatakan sebagai pemenang tender. Pranata Hajadi adalah juga Direktur Utama PT Eka Surya Indah Pratama (ESIP), anggota grup dari Trimegah. ESIP disiapkan oleh Trimegah untuk pengambilalihan perusahaan lain. Demikian juga CSDP. Dengan kata lain, CSDP, ESIP, dan Trimegah adalah satu grup.
Tindakan PT. tindakan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP), PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) dan PT Bhakti Asset Management (BAM), sebagai para pihak yang ikut dalam tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan BBPN dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan bisnis yang merugikan pelaku usaha yang lain dan termasuk persenkongkolan yang dilarang menurut undang-undang antimonopoli. Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersenkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
Tindakan persekongkolan tersebut dapat dilihat dari beberapa tindakan mereka sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan dokumen tender oleh dua dari tiga peserta, hal ini dimungkinkan karena peranan Pranata Hajadi yang menjadi anggota Konsorsium Alfa Sekuritas dan kemudian belakangan diketahui ternyata berpindah menjadi anggota Konsorsium CSDP waktu CSDP menang.
b. Adanya kesamaan perilaku peserta tender, yaitu antara BAM, ASI, dan CSDP. Ketiganya mengajukan ditiadakannya bid deposit (jaminan penawaran), material threshold, serta tidak menyebutkan keanggotaan konsorsium.
c. Adanya peranan Trimegah adalah membantu CSDP mendapatkan Info Memo, prosedur pengajuan penawaran, draf CSPLTA kepada PT CSDP. Seharusnya CSDP tidak berhak mendapatkannya, karena tidak menandatangani Confidentiality Agreement.
d. Kesamaan orang dalam jabatan yang berbeda dari beberapa perusahaan yang terlibat dalam usaha memenangkan tender penjualan saham PT. Indomobil, yakni peranan Pranata Hajadi, yang sebelumnya menjadi investor tunggal ASI, untuk menjadi investor CSDP, sebelum CSDP dinyatakan sebagai pemenang tender. Pranata Hajadi adalah juga Direktur Utama PT Eka Surya Indah Pratama (ESIP), anggota grup dari Trimegah. ESIP disiapkan oleh Trimegah untuk pengambilalihan perusahaan lain. Demikian juga CSDP. Dengan kata lain, CSDP, ESIP, dan Trimegah adalah satu grup.
Berdasarkan bukti-bukti diatas maka dapat kita simpulkan bahwa tindakan para pihak tersebut diatas dapat dikategorikan persekongkolan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang antimonopoli
Selanjutnnya dalam undang-undang antimonopoli ada tiga bentuk larangan persekongkolan, yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mangatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;
b. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sehingga rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
c. Pelaku usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan / atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Tindakan persekongkolan penawaran tender penjualan saham PT.Indomobil Sukses Internasional, Tbk ini dihubungkan dengan kontrak atau praktek-praktek bisnis yang dikualifikasikan sebagai contracts in restraint of trade merupakan Interlocking Directorate yaitu apabila dewan direksi suatu perusahaan sangat erat kaitannya dengan dewan direksi perusahaan lain, karena misalnya anggota direksi kedua perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang sama. Hal ini terlihat adanya kesamaan orang dalam jabatan yang berbeda dari beberapa perusahaan yang terlibat dalam usaha memenangkan tender penjualan saham PT. Indomobil seperti yang telah dijelaskan diatas.
Ditinjau dari sudut etika bisnis, persekongkolan dalam penawaran tender penjualan saham PT. Indomobil Sukses Internasional, Tbk tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran. Dari bukti dan data yang ada, serta kesamaan para pihak yang melaksanakan tender tersebut menunjukan adanya itikad yang tidak baik dari para pihak untuk memenangkan tender secara tidak sehat.
Sanksi hukum yang dapat diterapkan terhadap persekongkolan berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 undang-undang antimonopoli para pihak yang terlibat dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, maupun sanksi pidana tambahan. Persengkongkolan antara PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP) , PT Holdiko Perkasa (perusahaan induk yang menampung aset-aset eks Grup Salim) , PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) , dan PT Bhakti Asset Management (BAM) dalam penawaran tender saham PT. Indomobil Sukses Tbk yang melibatkan BPPN sebagai pelaksana tender dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:
1. Sanksi administrasi; berdasarkan pasal 47 Ayat (2), sanksi administrasi ini dapat berupa pembatalan perjanjian, pembayaran ganti rugi, dan penggenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).
2. Sanksi Pidana Pokok, berdasarkan Pasal 48 Ayat (1), dapat diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00 (seratur miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
3. Sanksi pidana tambahan, berdasarkan Pasal 49 dapat berupa : pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi dan komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, serta penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Berkaitaan dengan sanksi hukum bagi pejabat pemerintah yang terlibat dalam kegiatan praktek bisnis yang tidak sehat seperti kasus persengkongkolan penjualan saham PT. Indomobil diatas yang melibatkan BPPN, undang-undang antimonopoli tidak memberikan aturan yang tegas mengenai hal ini. Hal ini tentunya dapat menghambat tercapainya tujuan undang-undang antimonopoly, khususnya dalam kasus tender proyek pemerintah karena meskipun dapat dibuktikan adanya keterlibatan pejabat pemerintah dalam suatu pelanggaran, KPPU tidak dapat menjatuhkan sanksi hukum11.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Tindakan .PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP), PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) dan PT Bhakti Asset Management (BAM), sebagai para pihak yang ikut dalam tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan BBPN dapat dikategorikan sebagai kejahatan bisnis karena merugikan pelaku usaha yang lain dan termasuk persekongkolan yang dilarang menurut undang-undang antimonopoli. Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping itu juga persekongkolan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap etika bisnis.
Berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 undang-undang antimonopoli para pihak yang terlibat dalam persekongkolan yang menyebabkan timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, maupun sanksi pidana tambahan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya lebih bersifat proaktif dalam melakukan pengawasan usaha persaingan bisnis tidak hanya sebatas menunggu laporan pengaduan dari civil society organization atau dari pelaku usaha yang mengalami kerugian akibat tindakan persaingan usaha tidak sehat. KKPU seharusnya juga mengawasi berbagai kebijakan dan kondisi yang berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, dan tugasnya juga memberikan peringatan dini atas keadaan itu dan supaya pihak-pihak yang terlibat menyetop dan tidak melanjutkan perbuatannya/kebijakannya.
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat , seharusnya memuat aturan yang tegas tentang keterlibatan pejabat pemerintah yang ikut terlibat dalam melakukan kegiatan persaingan bisnis yang tidak sehat.
E. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku - Buku

Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1991.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum BIsnis Anti Monopoli, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, November 1999.

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.

B. Makalah

Erman Rajagukguk, makalah “Hukum Ekonomi Indonesia, Memperkuat
Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Den Pasar 14 – 18 Juli 2003.

C. Majalah
Editorial, Membudayakan Persaingan Sehat, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan
Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni
2002.

Sutan Remy Sjahdeni, Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan
Monopoli, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan
Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002.

Syamsul Ma’arif, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis,
Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002.

D. Perundang-Undangan.

UUD 1945

TAP MPR NO. IV/ MPR/1999 tentang GBHN

UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat.

iii
[1] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum BIsnis Anti Monopoli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, November 1999, hlm. 7.
2 Editorial, Membudayakan Persaingan Sehat, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 4.
3 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 110.


4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 40 – 41.

5 Sutan Remy Sjahdeni, Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Monopoli, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 5.
6 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm 12 – 13.
7 Ibid, hlm. 17 – 18.
10 Sunaryati hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1991, hlm. 135 – 142.
8 Erman Rajagukguk, makalah “Hukum Ekonomi Indonesia, Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Den Pasar 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5.
9 Ibid, hlm. 7
10 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 64
11 Syamsul Ma’arif, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei – Juni 2002, hlm. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar