Jumat, 16 Oktober 2009

Uji Materiil UU Pornografi

Tanggapan Uji Materiil Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21,dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Undang-Undang Dasar 1945


Oleh : Helza Nova Lita, SH, MH


Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi :
”Pornografi adalah gambar, skesta, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Pasal 4 ayat (1) :
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, meyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin;
f. pornografi.

Pasal 20 :
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21 :
(1) Peran serta masyarakat sebagamana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara :
a. melaporkan pelanggaran undang-undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 :

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal-pasal tersebut diatas menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28 A, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 I Ayat (3), Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 28 A UUD 1945 :

”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”

Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 :

“(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak memajukan dirinya memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 :

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945 :

”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan menggembangkan nilai-nilai budayanya”

Bahwa untuk memahami UU Pornografi perlu membaca pasal-pasal secara komperhensif yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga dengan demikian penafsirannya tidak bersifat parsial pada ketentuan pasal tertentu saja.

Pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa definisi ”pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi berakibat tidak adanya kepastian hukum, karena konsep kesusilaan antar daerah/suku berbeda-beda, tidak beralasan secara yuridis. UU Pornografi tidak bertujuan mengekang keberagaman budaya dan konsep kesusilaan antar daerah/suku yang berbeda. Salah satu tujuan UU Pornograi justru untuk menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 3 UU Pornografi yang berbunyi sebagai berikut

”Undang-undang ini bertujuan :
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusian;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan;
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat”.

Bahwa adanya alasan pemohon bahwa UU Pornografi ini akan mengubah konsep kebhinekaan dan mengancam persatuan dan kesatuan di Indonesia pun tidak beralasan secara yuridis dan terlalu berlebihan. Justru UU Pornografi ini pengaturannya juga disesuaikan dengan konsep kebhinekaan yang ada di Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pornografi sebagai berikut :

“ Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”.

Selanjutnya alasan pemohon yang menyebutkan bahwa para pekerja seni tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan mengesankan ketelanjangan yang berupa lukisan, ukiran,pahatan, patung-patung serta kerajinan khas lainnya dapat dianggap melanggar batasan pornografi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pornografi. Ketentuan ini juga perlu dihubungkan kembali dengan penafsiran yang bersifat komperhensif dari pasal-pasal lainya dalam UU Pornografi seperti pada Pasal 2 mengenai asas pengaturan pornografi, Pasal 3 mengenai tujuan undang-undang pornografi, Pasal 15 dan Pasal 16 mengenai Perlindungan anak, Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 tentang Pencegahan.

Tentu saja UU Pornografi tidak bertendensi untuk mematikan potensi pencarian nafkah para pekerja seni sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan undang-undang pornografi yang tercantum dalam Pasal 3. Penjualan benda-benda seni tersebut sepanjang memang merupakan ciri khas seni dan budaya daerah yang bersangkutan maka hal ini tentu bukan merupakan ketentuan yang dilarang oleh UU Pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, yaitu bahwa salah satu tujuan undang-undang pornografi adalah menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dengan adanya UU Pornografi ini justru melindungi budaya bangsa Indonesia yang plural namun tidak disalahgunakan untuk tujuan pornografi yang bertendensi pada komersialisasi seks dimasyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf e, bahwa salah satu tujuan UU Pornografi adalah untuk mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Berdasarkan keterangan diatas, tidak ada pertentangan antara UU Pornografi dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.

Perlu disadari bahwa munculnya UU Pornografi ini juga berkaitan dengan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi warga negaranya terutama para anak-anak dan perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 huruf d dari akibat berbagai kegiatan yang bertendensi pornografi yang merusak. Demikian pula fakta kenyataan yang terjadi di masyarakat begitu maraknya aksi kejahatan yang ditimbulkan akibat tayangan-tayangan dan informasi yang bermuatan pornografi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Staf Ahli Menkes Bidang Kesehatan dan Globalisasi Ratna Rosita dalam Harian Koran Jakarta, tanggal 03 Maret 2009, bahwa maraknya informasi tentang pornografi memicu kekerasan seksual yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) baik fisik maupun mental. Kerusakan otak dapat terjadi bila terkena paparan secara terus menerus hal-hal negatif seperti pornografi dan narkoba. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Kepala Pusat Inteligensia Depkes Jofizal Jannis mengatakan rusaknya intelegensia itu akan semakin parah bila anak-anak terus dipertontonkan tayangan pornografi. Selain kerusakan intelegensia, anak-anak tidak akan dapat berfikir jernih. Hal ini akan menimbulkan efek negatif baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidupnya kelak.

Otak yang terpapar hal negatif secara terus menerus akan mengalami penyusutan. Penyusutan ini bisa terjadi antara lain karena kecanduan narkoba, makanan cepat saji, pornografi, dan judi. Jika otak anak sudah rusak, dia tidak dapat menetapkan batasan dan mengontrol perilakunya.

Donald Hilton dari Methodist Speciality and Transplant, San Antonio, Amerika Serikat juga mengemukakan bahwa memori emosional akan hilang sehingga orang menjadi lupa untuk berperilaku baik dan tidak bisa mengontrol diri. Otak di bagian depan yang merupakan pusat kontrol akan mengerut. Jika otak tidak mengalami kerusakan, maka kontrolnya akan normal, namun jika sudah rusak, maka mekanisme kontrolnya terhadap suatu hal negatif seperti pornografi menjadi kecil.

Mengingat maraknya berbagai kasus kejahatan yang berawal dari meningkatnya berbagai tayangan yang bertendensi pornografi, tentu saja hal ini adalah suatu kewajaran jika pemerintah berupaya untuk melindungi warganya terutama anak-anak dan wanita yang rentan menjadi korban. Tentu saja dengan tetap memperhatikan pluralitas keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia.

Demikian. terimakasih. helzanova@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar