Kamis, 03 Juni 2010

Tanggapan Permohonan Uji Materril Perkara Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan “Tafsiran zat adiktif”

Tanggapan Permohonan Uji Materril
Perkara Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010
Tentang UU Kesehatan “Tafsiran zat adiktif”

Helza Nova Lita


Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon menyatakan Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam pembukaan (preambule), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28I, yang berarti melanggar hak asasi manusia

NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI

Sebanyak 3 (tiga) norma, yaitu :

Pasal 113 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI

Sebanyak 10 (sepuluh) norma, yaitu :

Pembukaan UUD 1945

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan in i kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada ketjualinya.

Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerdyaan dan penghidupan yang lajak bagi kemanusiaan.

Pasal 27 ayat (3)
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggun jawab negara, terutama pemerintah.

Pasal 28I ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pemohon mendalilkan Pasal 113 ayat (2) bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian, padahal masih banyak jenis tanaman pertanian lainnya yang juga mempunyai dampak tidak baik bagi kesehatan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga tidak ada satu ayat pun yang menyebut istilah zat adiktif, namun kemudian dimunculkan pasal khusus yaitu Pasal 113 ayat (2).

Dalam pertimbangan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.

Dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan menyebutkan Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.Selanjutnya dalam ayat (2) bahwa Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Dan pada ayat (3) menyebutkan Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

Ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan merupakan aturan dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dengan mengikutnsertakan peran masyarakat secara luas. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum UU Kesehatan bahwa pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.

Sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang didalilkan pemohon bersifat diskriminatif, dan bahwa upayanya pemakaian tembakau dilakukan dengan pengendalian bukan dengan pencegahan, justru telah diakomodir dalam Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan yang menyebutkan menyebutkan Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) dijelaskan bahwa Penetapan estándar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.Pemohon seharusnya membaca ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan tidak berdiri sendiri tapi juga terkait dengan pasal dan ayat lainya dalam UU kesehatan.

Ketentuan Pasal 113 UU kesehatan yang menyebutkan tembakan sebagai salah satu tanaman yang mengandung zat adiktif adalah dalam upaya agar penggendalian penggunaannya agar tidak menganggu kesehatan. Karena Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat sebagaimana yang diamantkan oleh UUD 1945. Hal ini tentunya bukan merupakan tindakan diskriminatif.

Penggunaan Tembakau yang mengandung zat adiktif tentunya tidak akan merugikan petani tembakau, jika penggunaannya dapat dikendalikan dan bukan semata-mata untuk industri rokok. Tembakau dapat dialihkan pada industri lainnya yang tidak menganggu kesehatan masyarakat.
Penggunaan tembakau akan bermanfaat sesuai dengan peruntukannya tanpa harus diarahkan pada industri rokok yang membahayakan kesehatan. Penggunaan tembakau dapat dialihkan pada fungsinya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam beberapa hasil penelitian Dr. Arief B. Witarto, M.Eng, peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru-baru ini berhasil menggunakan tembakau sebagai alat untuk memproduksi protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF) tersebut, suatu hormon yang sangat penting dalam menstimulasi produksi darah dan selain itu bisa juga untuk menstimulasi perbanyakan sel tunas (stem cell) yang bisa dikembangkan untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak (Republika, 24 Juli 2008). Sebelumnya peneliti LIPI ini yang bekerja sama dengan peneliti Fraunhofer Institute for Environmental Chemistry and Ecotoxicology dari Jerman juga menggunakan tembakau transgenik untuk memproduksi tiga protein utama yaitu human serum albumin (HSA) untuk pengobatan sirosis hati dan luka bakar, human interferon-alfa (IFN-a2) sebagai antivirus dan banyak dipakai untuk pengobatan HIV/AIDS dan hepatitis, serta antibodi M12 untuk mengenali antigen MUC-1 yang banyak terdapat pada permukaan sel kanker, seperti kanker payudara dan kanker hati sehingga sel kanker dapat didiagnosis lebih akurat dan dibunuh secara tepat (Tempo, 15 Maret 2005). Penelitian lain yang dilakukan oleh Beni Hermawan pada 28-04-2007 di Situs Kimia Indonesia chem-is-try.org menyebutkan bahwa ekstrak daun tembakau dapat dijadikan inhibitor (pencegah) terjadinya peristiwa korosi (pengkaratan atau perusakan atau penurunan kualitas suatu bahan logam) dalam medium larutan garam. Ekstrak daun tembakau juga efektif menurunkan laju korosi mild steel dalam medium air laut buatan yang jenuh CO2 .
Beberapa ringkasan penelitian tersebut meruntuhkan ke-salah kaprah-an yang selama ini terjadi bahwa manfaat tembakau ‘hanya’ lah untuk bahan baku pembuatan rokok sehingga terkesan tidak memiliki manfaat selain itu. Pengembangan penelitian-penelitian tersebut menjadi produksi massal akan membawa manfaat sangat besar. Kesediaan pemerintah untuk mewujudkan iklim yang kondusif dalam memperluas lapangan kerja di bidang industri pharmaceutical (obat-obatan) ini dapat menjadi alternatif solusi untuk para petani tembakau. Petani-petani yang sudah terlatih menanam tembakau dapat diberdayakan dalam ‘menggarap’ industri obat-obatan dan vaksin tersebut yang justru akan mendatangkan keuntungan lebih besar daripada pabrik rokok. Dan para tenaga kerja dari pabrik rokok dapat dialihkan ke industri ini pula .
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa tidak ada hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakukan Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar