Kamis, 08 Mei 2008

Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Bank Syariah

Penyelesaian Sengketa dalam transaksi perbankan syariah
Oleh : Helza Nova Lita
Dalam hukum Islam setiap bentuk perjanjian wajib ditaati oleh para pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang tertuang dalam Firman Allah QS. Al – Maidah (5) : 1 : sebagai berikut : “ Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”.
Penyelesaian sengketa bank syariah dapat menggunakan jalur peradilan umum. Namun demikian ada permasalahan hukum yang dapat muncul dalam ketentuan hukum positif yang dipakai oleh hakim dalam mengadili sengketa L/C tersebut. Sebagai contoh dalam penyelesaian sengketa perdata melalui badan peradilan Indonesia pada umunya menggunakan ketentuan berdasarkan KUH Perdata. Sementara itu ketentuan L/C syariah mengacu selain tunduk pada ketentuan hukum nasional juga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Syariah Islam.
Untuk menjembatani adanya perbedaan hukum yang berlaku dalam perjanjian antara nasabah dan bank syariah apakah KUHPerdata sebagai hukum positif yang diakui di Indonesia atau hukum Islam. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya “Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia” mengemukakan bahwa selain asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata, terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukukm perjanjian. Asas tersebut menentukan bahwa apabila di dalam perjanjian tidak diatur mengenai hal yang dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu telah diatur oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata, maka ketentuan dalam KUHPerdata itu yang diberlakukan. Namun jika hal tersebut telah diatur dalam perjanjian, tetapi isinya berbeda dengan pengaturan dalam KUHPerdata, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan dalam perjanjian itu dengan ketentuan sepanjang pengaturan dalam hukum perjanjian tidak merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dwingendrecht). Jika ketentuan dari hukum perjanjian dalam KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ketentuan dari hukum perjanjian itu harus diberlakukan, sedangkan ketentuan-ketentuan dari perjanjian itu batal demi hukum. Selanjutnya Sutan Remy Sjachdeini mengemukakan, bahwa sebagin besar ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam KUHPerdata bersifat tidak memaksa (aanvullend recht), artinya, boleh disimpangi oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat lain di dalam perjanjian yang dibuat oleh mereka[1].
Kebebasan untuk memilih termasuk "kebebasan untuk berkontrak" bagi setiap individu selain bersifat kudrati dan hak paling asasi serta merupakan bagian dari pengertian yang lebih luas dari definisi "ibadah mu'amalah", maka dalam hubungan dengan negara, juga mendapat jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 yakni, "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dengan demikian jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep syariah Islam sebagai keyakinan yang dianutnya[2].
.

Demikian pula dalam hubungan jual beli antara importir dan eksportir. juga termasuk kontrak internasional, mengingat kedua belah pihak berada dalam wilayah negara yang berbeda.. Dalam hal ini, jika terjadi sengketa diantara mereka, penyelesaian hukum yang digunakan dapat mengunakan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa perdata internasional.
Dalam penyelesaian sengketa perdata internasional, pada umunya para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri forum dan hukum yang dapat mereka gunakan untuk menyelesaikan sengketa yang dapat timbul dalam pelaksanaan transaksi tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum di masing-masing dinegara yang berlaku.
Jika dalam kontrak perdata internasional tidak dicantumkan pilihan forum maupun pilihan hukumnya, Hukum Perdata Internasional memberikan beberapa teori mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya sebagai berikut :
Teori Lex Loci Contractus ; yaitu hukum suatu kontrak ditentukan oleh hukum dimana kontrak itu dibuat. Namun dalam perkembangan praktek dagang internasional hal ini ada kesulitan untuk menentukan tempat jika para pihak yang melangsungkan suatu kontrak tidak bertemu muka secara langsung[3]. Sebagai contoh dalam aplikasi penerbitan L/C, hal ini dapat terjadi jika para pihak membuat kesepakatan tidak bertemu secara langsung, tetpi menggunakan melalui media elektronik, misalnya dengan menggunakan media internet.
Teori Lex Loci Solutionis ; yaitu hukum yang berlaku atas suatu kontrak didasarkan pada tempat dimana perjanjian itu dilaksanakan. Pada umumnya memang lazim dalam kontrak-kontrak dagang internasional, sesuai dengan praktek perdagangan yang menjadi kebiasaan, bahwa ditentukan tempat penyerahan barang-barang bersangkutan atau dimana jasa-jasa yang harus diberikan akan diterima. Namun teori ini juga dapat menimbulkan kesulitan jika ada beberapa tempat pelaksanaan kontrak tersebut[4]. Dalam hubungannya dengan praktek penerbitan L/C, tampaknya juga ada kesulitan mengingat penerbitan L/C melibatkan tempat wilayah yang berbeda antara Negara importir dan eksportir.
The Proper Law of the Contract ; yaitu hukum yang berlaku atas suatu kontrak berdasarkan “intention of the parties” yakni maksud para pihak dengan melihat fakta-fakta yang secara tidak langsung menunjukan keinginan para pihak untuk memberlakukan suatu hukum tertentu.
The Most Characteristic Connection ; yaitu hukum yang berlaku atas sutau kontrak adalah tergantung prestasi siapa yang paling karakteristik atau paling dominan[5]. Sebagai contoh dalam transaksi jual beli, kepentingan penjual dianggap sebagai prestasi paling dominan dalam menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak. Dalam aplikasi L/C dianggap hukum dari pihak beneficiary/eksportir dianggap paling dominan.
Dilihat dari beberapa teori diatas, penggunaan dalam penyelesaian sengketa dagang internasional dapat dilihat tergantung kasus yang terjadi. Meskipun dalam praktek teori The Proper Law of the Contract dan The Most Characteristic Connection untuk masa sekarang lebih tepat untuk digunakan.



[1] Sutan Remy Sjachdeini, Op.Cit, hlm. 135 – 136.

[2]Rachmat Syafei’i,TinjauanYuridis Bank Syariah, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp, 03 oktober 2005.
[3] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku kedelapan jilid Ketiga (bagian kedua), Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm. 12 – 13.
[4] Ibid, hlm. 16 – 17.

[5] Catatan perkuliahan Hukum Perdata Internasional, Program Magister Ilmu Hukum Universitas padjadjaran, tahun akademik 2005/2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar