Kamis, 13 November 2008

Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

Tanggapan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Helza

Pemohon mengajukan permohonan pengujian material terhadap Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 Huruf a,b,c,d,e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPD.

Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 tahun 2008 berbunyi sebagai berikut :

(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.
(2) Didalam bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto terbaru.

Pasal 214 huruf a,b,c,d,e UU No 10 tahun 2008 berbunyi sebagaim berikut :

“Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan :
Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100 (seratus perseratus) dari BPP:
Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon terpilih ditetapkan berdasrkan nomor urut.

Menurut Pemohon bahwa Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 tahun 2008 tidak sejalan dengan semangat reformasi dan Pemohon merasa terdiskrimasi karena pasal a quo. Sebab caleg perempuan dapat prioritas mendapatkan nomor urut kecil seperti yang diatur dalam pasal a quo (diantara 3 caleg harus ada 1 caleg perempuan). Demikian pula bahwa Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 menurut pemohon semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil. Karena apabila pemohon dipilih oleh rakyat ternyata hak pemohon dipasung oleh pasal a quo. Sehingga suara pemohon apabila tidak mencapai 30% (tiga puluh persen) dari BPP (Bilangan pembagi pemilu) menjadi sia-sia.

Oleh karena itu pemohon merasa bahwa hak konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama pada Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.

Untuk menjawab permasalahan peran serta perempuan dalam kegiatan politik di wilayah negara Republik Indonesia perlu juga melihat aturan hukum mengenai partai politik itu sendiri. Pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, yaitu memberikan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan.

Melalui kebebasan yang bertanggung jawab, segenap warga negara memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga negara berpikir dalam kerangka kesederajatan sekalipun kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk tantangan lebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.

Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui penataan kehidupan kepartaian, di samping adanya sistem dan proses pelaksanaan pemilihan umum secara memadai.

Dalam ketentuan Undang-Undang nomor tentang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 mengakomodasi beberapa paradigma baru termasuk diantaranya peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.

Munculnya upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dipicu oleh banyaknya persoalan perempuan yang telah memunculkan simpati yang sangat besar bagi sebagian kalangan. Simpati ini kemudian terkristal menjadi sebuah “kesadaran”untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Gerakan kesadaran inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “feminisme”[1].

Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut[2]. Oleh karena itu, feminisme juga sering didefinisikan sebagai suatu “kesadaran” akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar dari laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut[3]. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin serta dominasi laki-laki dan sistem patriaki, lalu dia sekaligus melakukan suatu tindakan untuk menentangnya, maka dia dikatakan sebagai seorang feminis[4].

Hanya saja, sebagaimana ide maupun gerakan yang lain, feminisme sesungguhnya bukan merupakan pemikiran atau aliran yang tunggal, melainkan terdiri atas berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakai oleh mereka masing-masing. Inilah yang menyebabkan mengapa antara kelompok feminisme yang satu dan kelompok yang lain memiliki kesimpulan analisis yang berbeda mengenai apa yang sebenarnya menjadi akar dari persoalan perempuan. Perbedaan analisis ini berimplikasi pada munculnya perbedaan “orientasi gerak” dalam menyelesaikan persoalan perempuan. Hanya saja, sekalipun gerakan feminis datang dengan analisis dan dari ideologi yang berbeda-beda, umunya mereka mempunyai kesamaan kepedulian, yakni nasib perempuan[5].

Minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan kebijakan dan kekuasaan sering mendapat perhatian yang khusus dibandingkan dengan isu-isu lainya. Hal ini disebabkan, karena politik yang mereka artikan sebagai setiap kegiatan dimana ada power structure relationship (hubungan kekuasaan secara struktural) dan ketidaksetaraan jender antara perempuan dan laki-laki[6], dianggap ranah yang sangat strategis karena mencakup semua aspek kehidupan[7].


Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.

Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 tahun 2008 secara konstitusional tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2). Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 tahun 2008 hanya memberikan jaminan kepastian agar suara perempuan dapat tertampung minimal dengan kuota 30% pada lembaga perwakilan. Namun mekanisme dalam praktek pemilihannya tetap diserahkan kepada pemilih itu sendiri.

Porsi adanya 30% suara perempuan yang dilakukan melalui keterwakilan perempuan melalui lembaga legislatif yang mekanisme selanjutnya antara lain diatur dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008. Pada dasarnya aturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. karena adanya mekanisme yang disusun dalam perolehan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 UU Nomor 10 tahun 2008 pada dasarnya untuk mengimbangi jumlah porsi suara pria agar ada kepentingan yang seimbang dalam menentukan berbaga kebijakan di lembaga parlemen.

Tentu keseimbangan yang diharapkan dalam Pasal 55 UU Nomor 10 tahun 2008, tidak bermaksud menempatkan bahwa adanya dominasi kepentingan perempuan semata-mata, sehingga seolah-olah ada perlakuan diskriminatif atau adanya “gap” antara kepentingan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini kita juga tidak mengasumsikan isu “jender” ala kaum feminisme yang banyak disuarakan di dunia barat. Karena konsep gender sendiri terdapat beberapa pandangan yang berbeda.

Tentu saja konsep gender yang kemudian antara lain diimplementasikan dalam keikutsertaan perempuan dalam politik minimal 30 %, harus diselaraskan dengan konsep Demokrasi Pancasila, yang dibatasi oleh nilai-nilai pancasila, yakni nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Masuknya perempuan dalam lembaga legislatif diharapkan dapat menyuarakan suara perempuan yang bersifat positif sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila dan konsep budaya timur. Dalam hal ini perlu ada pemikiran pemikiran yang dapat menyuarakan kepentingan tersebut yang memang akan lebih baik jika memang dilakukan oleh keterwakilan perempuan yang menguasai bidang untuk mengimbangi kebijakan-kebijakan publik terutama bidang-bidang yang memang secara keilmuan lebih baik diduduki oleh kaum perempuan sesuai harkat dan martabatnya.





[1] Najma Sa’idah & Husnul Khatimah, “Revisi Politik Perempuan”, Idea Pustaka, Bogor, Oktober 2003, hlm. 30.
[2] Mansour Fakiha dalam Najma Sa’dah & Husnul Khatimah, Ibid, hlm.31.
[3] Najma Sa’idah & Husnul Khatimah, Ibid, hlm. 31.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ani Soecipto dalam Najma Sa’idah & Husnul Khatimah, Ibid, hlm. 53.
[7] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar